RI Bebas Tuduhan Dumping Biofuel
Tuduhan Eropa Tidak Terbukti JAKARTA \" Indonesia bebas dari tuduhan praktik dumping dan subsidi harga ekspor pada produk biofuel yang dilayangkan Uni Eropa pada Mei lalu. Setelah melalui penyelidikan tahap awal, Indonesia dinyatakan tak terbukti melakukan praktik penetapan harga lebih murah untuk penjualan di mancanegara tersebut. Dengan demikian, Indonesia dibebaskan dari tarif bea masuk antidumping 2,8-9,6 persen. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, pembebasan Indonesia dari tuduhan dumping dilakukan setelah investigasi dan analisis yang dilakukan komisi perdagangan Eropa dan organisasi perdagangan dunia (WTO) rampung. \"Memang ada subdsidi yang diberikan pemerintah kepada konsumen biofuel di Indonesia. Tapi bukan untuk kepentingan ekspor,\" jelasnya kepada Jawa Pos. Subsidi untuk konsumen biofuel domestik dilakukan untuk mendorong masyarakat Indonesia beralih pada sumber energi alternatif itu. Tapi jika diekspor, itu sudah di luar wewenang pemerintah. Sehingga, harganya kembali normal. Akhir Mei lalu Uni Eropa telah mengenakan bea masuk antidumping kepada sejumlah perusahaan Indonesia, seperti PT Musim Mas, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Wilmar Nabati Indonesia, dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai 90 persen pasar ekspor biofuel asal Indonesia. Bayu mengatakan, proses investigasi tersebut merupakan tahap pertama. \"Indonesia harus menjalani sejumlah tahapan agar bebas dari tuduhan dumping seutuhnya. Untuk itu, pihaknya bakal mengumpulkan informasi dan data-data yang dibutuhkan dalam penyelidikan. Namun menurut Bayu, yang paling utama adalah proses investigasi dan analisis dari pihak-pihak terkait sudah terlampaui. Bayu menambahkan Eropa merupakan pasar terbesar produk biofuel Indonesia. Sebab Uni Eropa telah mewajibkan penggunaan biofuel. Sedangkan di negara-negara lainnya masih belum. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor biofuel ke Eropa mencapai USD 1,6 miliar. Sedangkan ekspor ke negara-negara di luar Eropa mencapai USD 1,4 miliar. \"Itu baru yang diekspor langsung dari Indonesia. Padahal biofuel Indonesia yang ada di pasar dunia jauh lebih besar dari itu. Sebab pengusaha banyak yang memilih membangun refinery di negara tujuan ekspor,\" terangnya. Pengusaha menganggap proses itu lebih efisien jika dibandingkan membangun pabrik pengolahan di Indonesia. Sekjen Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menambahkan biofuel Indonesia terbuat dari kelapa sawit. Dengan produksi yang besar, harganya menjadi relatif murah, yakni sekitar USD 200 per ton. Itu lebih murah ketimbang biofuel yang terbuat dari minyak kedelai, bunga matahari, atau bahan lainnya. Paulus mengatakan, pengusaha biofuel sangat bergantung pada pasar ekspor. Sebab saat ini pasar domestik belum terbentuk. Saat ini kapasitas produksi biofuel, khususnya biodiesel Indonesia sekitar 4,2 juta kilo liter, dengan kapasitas terpakai di bawah 50 persen. Tahun lalu produksinya mencapai 2,1 juta kilo liter. Perinciannya, 1,5 juta kilo liter diekspor. Sedangkan sisanya diserap pasar dalam negeri. (uma/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: