KPK : Gratifikasi Jambi Tinggi
Lalu, ditanya apakah KPK sudah pernah melakukan penindakan di Jambi, dia kembali menjawab diplomatis. “Kalau potensi itu pendekatannya adalah potensi kerugian. Ya kita kasih tahu dulu, jangan dilakukan karena akan menimbulkan korupsi kalau dilakukan.
‘’Itu fungsi pencegahan terhadap tindak pidana. Kami bukan sedang penindakan, namun dalam pencegahan,” ujarnya.
Ditanya soal tindak lanjut KPK soal dugaan penyalahgunaan wewenang dalam hal pinjam pakai hutan untuk pertambangan, dia menegaskan, pihaknya hanya melakukan pencegahan. “Nanti bisa ditanya langsung ke KPK, ada bagian informasi ditanyakan disana statusnya seperti apa,” tegasnya.
Sementara itu, pihak BPKP Provinsi Jambi menyampaikan, dalam aspek pelayanan perizinan pertambangan, penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tak sesuai aturan. Diantaranya, belum adanya kelengkapan persyaratan tekhnis, lingkungan dan finansial. Pengaturan jangka waktu IUP Eksplorasi tidak sesuai ketentuan. Selain itu, belum ada penetapan Wilayah IUP. “Parahnya, tidak menyetor jaminan pelaksanaan eksplorasi sebesar $100.00,” katanya.
Disamping itu, pemegang IUP eksplorasi juga tidak melakukan kewajiban reklamasi, tidak ada dokumen rencana dan laporan pelaksanaan reklamasi yang dibuat oleh pemegang IUP. Hasil konfirmasi dengan dinas terkait menyatakan tidak mengetahui ada tidaknya kegiatan reklamasi. “Pemegang IUP tidak menyediakan jaminan reklamasi,” sebutnya.
Disampaikannya, dasar perhitungan iuran tetap IUP eksplorasi tahun 2012 tidak tepat yang mengakibatkan kurang setor PNBP oleh pemegang IUP mencapai Rp 1, 5 M. Selain itu, terdapat potensi kekurangan penerimaan PNBP tahun 2013 sebesar US$ 194. 960. “Pemerintah daerah belum melakukan pengawasan ini, terlihat dari tidak adanya hasil pemeriksaan,” ujarnya.
Selain itu, katanya lagi, terdapat indikasi penerbitan IUP tidak sesuai kewenangan. Seperti, PT Sarolangun Ketalo, PT Tembesi Coalindo yang IUPnya dikeluarkan Pemkab Sarolangun. Sementara PT Satria Tapak nawala dan PT Bangun Energy Indonesia IUP-nya di keluarkan Pemkab Batanghari.
Oleh beberapa hal tersebut, bisa memberikan beberapa dampak kerugian daerah. “IUP itu harusnya dikeluarkan Provinsi, bukan daerah. Dampaknya, diantaranya, kemungkinan terjadinya manipulasi data potensi produksi. Terjadinya eksploitasi area IUP di luar izin yang dikeluarkan. Lalu kemungkinan terjadinya areal eksploittasi lebih luas dibandingkan izin yang diterbitkan. Lalu adanya indikasi akan kemungkinan terjadinya penjualan informasi potensi pertambangan kepada pihak lain,” jelasnya.
Dimintai komentarnya terkait hal itu, Direktur Gratifikasi KPK, Giri enggan berkomentar banyak. “Ini kita cek dulu. Jangan disimpulkan dulu karena berbahaya. Itu lebih ke prosedur umum. Zaman desentralisasi ini harus dipelajari betul, seperti kewenangan kabupaten kota itu besar sekali. Kehutanan itu hanya lebih dari 80 persen kewenangan ada di Kabupaten dan Kota,” ungkapnya.
Terkait adanya indikasi dan dugaan kerugian karena penyelewengan IUP tersebut dan kegiatan eksplorasi yang tak sesuai IUP senilai Rp 1, 5 M yang tidak disetorkan. Karena izin dengan wilayah eksplorasi berbeda, dia tak bisa berkomentar. “Takutnya ini menjauh. Kami punya kajian sumber daya mineral dan migas dan termasuk kehutanan juga. Kalau kesimpulan kita, prosedur ini harusnya dikoordinasikan,” tandasnya.
Diterangkan Giri Suprapdiono, sejak tahun 2004, KPK telah menangkap 7 orang level menteri, 8 orang gubernur, 70 orang anggota DPR, 32 orang bupati/walikota, 107 orang Dirjen, Irjen, dan Sekjen, 116 orang yang bukan penyelenggara negara (seperti Nunun Nurbaeti), 4 orang duta besar, dan 5 orang Deputi Gubernur Bank Indonesia. “Dan dari semua yang ditangkap KPK, semua masuk penjara, kecuali ada yang meninggal sebelum dipenjara,” ujarnya.
(wsn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: