Hari Raya Kurban, Pendidikan (dan) Budaya Malu
Oleh: Amri Ikhsan*)
Sudah lama Nabi Ibrahim menunggu kehadiran buah hati, tetapi setelah dikarunia anak yang bernama Nabi Ismail, ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Pilihan dilematis: melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati. Didasari keimanan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Kisah ini diabadikan dalam al Qur’an surat al Shaffat ayat 102-109.
Perayaan hari raya idul adha atau hari raya kurban ditandai dengan menunai ibadah haji di tanah suci bukanlah ‘seremonial’ belaka. Perayaan ini penuh dengan kisah inspiratif yang ‘wajib’ dipedomani supaya kehidupan kita penuh makna. Banyak pelajaran yang bisa diamalkan jika kita benar benar menghayati ‘asbabun nuzul’ dari perayaan ini. Minimal ada beberapa kata inspiratif yang melingkari ibadah ini: Nabi Ibrahim, nabi Ismail, ibadah haji, hewan kurban, manusia abad ini dan pemahaman umat Islam tentang peristiwa ini.
Hikmah hari raya idul kurban, pertama, sekecil apapun masalah yang ada mestinya dimusyawarahkan dengan orang orang yang berkepentingan. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ihwal mimpinya kepada anaknya, nabi Ismail. Ini mengisyaratkan bahwa pemimpin itu harus mengajak semua komponen untuk berpartisipasi dalam mengambil kebijakan siapapun orangnya. Jangan sekali kali meremehkan orang orang ‘kecil’. Intinya adalah pemimpin wajib menganggap semua orang itu ‘penting’.
Dialog yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dengan putranya, nabi Ismail ketika menyampaikan pesan dari Allah untuk menyembelihnya.Nabi Ibrahim menyampaikan perintah itu dengan bijaksana. Beliau tidak melakukan dengan tiba-tiba dan bukan menunggu Nabi ismail sedang lengah atau dgn taktik menculik, mengancam, menteror dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki wewenang tetapi beliau tidak menggunakan wewenangtersebut agar anaknya bertekuk lutut di hadapannya. Perintah Allah disampaikannya dgn transparan penuh argumentasi Ilahiah.
Kedua, mengajarkan persamaan derajat antar sesama. Ibadah haji yang dilakukan umat muslim dari penjuru dunia pada hari raya ini memotret bagaimana islam tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Ini mengajarkan kita untuk tidak bersikap diskriminatif dalam kehidupan kita.
Ketiga, mengajarkan untuk saling berbagi. Ibadah kurban yang dilaksanakan pada hari raya ini bukan hanya simbul menyembelih hewan tetapi ingin menunjukkan bahwa islam adalah agama yang peduli dengan kaum dhuafa. Daging hewan ini wajib dibagikan bagi kaum yang belum berkecukupan,sehingga pada hari raya ini mereka akan merasakan kebersamaan dengan umat muslim yang lain.
Keempat, ketaatan dengan Allah tak terganti oleh apapun. Ini dapat kita lihat dari ketaatan Nabi Ibrohim untuk menyembelih putra tercintanya, nabi Ismail. Padahal dia adalah putra yang telah dinanti-nanti selama bertahun-tahun. Dihadapkan diantara pilihan untuk mempertahankan buah hatinya atau menjalankan perintah-Nya yaitu menyembelih putranya. Namun dengan keteguhan iman yang telah terpatri di hatinya, nabi Ibrohim tetap menjalankan perintah-Nya. Nabi Ismail pun disembelih olehnya, namun Allah menggatikannya dengar seekor domba.
Kelima, membuang sifat hewani dengan budaya malu. Dalam sebuah mahfuzhat, Abu Tamam membuat perumpamaan seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon yang tidak memiliki kulit. Selain sebagai media melakukan fotosintesis, kulit pohon merupakan pelindung batang kayu di dalamnya. Selama masih ada kulitnya, maka pohon itu akan tetap segar dan subur.
Oleh karena itu, kita jadikan ibadah kurban sebagai moment untuk membuang sifat hewani: tamak, rakus, korup, malas, maunya menang sendiri, karena sifat sifat ini akan membuat kehidupan kita kehilangan arah dan lambat laun akan menghancurkan masa depan bangsa.
Disini tugas para pendidik untuk memberikan pencerahan kepada kaum terpelajar tentang pembelajaran dalam hari idul adha, hari raya haji sebagai salah satu dasar dalam membangun ghairu ummah (umat terbaik)
Sastrawan Taufik Ismail mengatakan, maraknya permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia saat ini tak hanya terjadi di kalangan tertentu, namun semakin meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Dia menegaskan bahwa permasalahan KKN di Indonesia disebabkan karena hilangnya rasa malu dalam diri kita. Untuk itu, Taufik menegaskan bahwa institusi pendidikan harus mengajarkan budaya malu sejak dini kepada generasi muda. Dengan begitulah, kata dia, degradasi mentalitas bangsa tidak terus terpuruk.
Disadari atau tidak, fenomena negatif akibat budaya ‘tak bermalu’ secara positif disebabkan oleh produk pendidikan yang tidak memprioritaskan budaya malu. Pendidikan lebih menekankan semua paradigma ‘tertulis’ atau konsep atau teori sudah bagus tanpa mempertimbangkan ‘kompetensi’ orang yang akan menjalankan konsep itu. ‘Orang-orang’ yang terlibat berbagai kasus yang pada hari ini adalah mereka yang tidak diajari malu sewaktu mereka berada dibangku pendidikan.
Yang lebih ‘aneh’ yang hanya ada di Indonesia, narapidana yang akan bebas dari penjara ‘disanjung luar biasa’ oleh media bak pahlawan. Kita nyaris kehilangan budaya malu, disebabkan untuk mengukur kemajuan atau sukses suatu bangsa lebih menggunakan pendekatan pada sumber daya, nilai tukar rupiah, jumlah sarjana, nilai UN, gelar yang dimiliki, dsb dan menjauhkan budaya hidup positif dalam kehidupan sehari-hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: