Fenomena Politik Pilkada Langsung Di Era Otonomi Daerah

Fenomena Politik  Pilkada Langsung Di Era Otonomi Daerah

Oleh : Citra Darminto

Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di  republik  ini  menjadi  perpanjangan  tangan  kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru  mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat  sebelah  memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Daerah yang  kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan  dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang.

 Meski diterima luas atau tidak mendapat penolakan publik yang signifikan, tidak berarti bahwa pilkada langsung ini tak lagi bermasalah. Menurut penulis, kondisi lingkungan sebagai tempat berinteraksi dan beroperasinya eksperimen baru tersebut, belum sepenuhnya mendukung. Ini utamanya terkait dengan desain sistem politik makro saat ini yang memang tidak cukup suportif bagi pengembangan demokrasi lokal. Bahkan tanpa perhatian dini atas masalah ini, bukan tak mungkin variabel itu menjadi faktor negatif (problematik) tersendiri bagi upaya reformasi pemilihan tersebut. Setidaknya ada 2 kondisi yang dimaksud.

Pertama, kondisi ketimpangan kelembagaan, dengan kenyataan bahwa strukutur politik lokal kita belum benar-benar terpisah (de- coupling) dari politik nasional. Usulan reformasi elektoral bagi pilkada ini hadir ketika kedua ranah politik itu sesungguhnya masih satu, di mana politik lokal tetap terintegrasi dalam politik nasional, lengkap di dalamnya juga struktur psike ketergantungan para politisi lokal terhadap elite di Jakarta. Kondisi buruk dalam kehidupan kepartaian adalah, devolusi kewenangan dalam matra suprastruktur, yakni desentralisasi pemerintahan, tak lalu diikuti dengan desentralisasi kepartaian (infrastruktur). Devolusi yang macet ini, dari segi institusional, menyebabkan partai-partai di daerah tidak berubah dari statusnya sebagai cabang fur sich; dan secara fungsional hanya berperan sebagai replikasi kepentingan dari partai (elite) pusat. Dalam konteks ini calon Kepala Daerah yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari bawah, di mana kemunculannya hanya mungkin melalui pencalonan oleh partai di daerah, tapi merupakan titipan elite pusat partai sebagai yang banyak terjadi dalam fenomena pilkada saat ini. Dengan demikian, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai.

Kedua, kondisi dominasi partai politik, hal ini yang kini berlaku dalam pemilihan Kepala daerah. Dalam kenyataan bahwa, di satu sisi masih sedikitnya para kader partai yang pantas untuk maju sebagai pemimpin pemerintahan (dan bahkan tugas kaderisasi ini sering diabaikan oleh partai di daerah), dan pada sisi lain banyaknya tokoh masyarakat lokal (perguruan tinggi/Akademisi, dan Ormas) yang mumpuni namun tidak memiliki afiliasi kepartaian tertentu, rakyat pada gilirannya mungkin hanya berkesempatan memilih calon yang tak layak. Masalah lain dari dominasi partai adalah biaya untuk menjadi Kepala Daerah yang di bebankan oleh partai terhadap calon  kepala daerah yang super mahal dan saat ini ada 155 kepala daerah termasuk 17 gubernur tersandung masalah korupsi di sebabkan biaya untuk menjadi kepala daerah yang super mahal, bahkan saat ini banyak calon kepala daerah memiliki sponsor/ pemodal dalam pertarungan pilkada yang nantinya sponsor/ pemodal tersebut nantinya mendapatkan proyek dari kepala daerah yang di usungnya.

Dari beberapa fenomena permasalahan pilkada yang disebutkan di atas, menurut hemat penulis, Evaluasi terhadap figur kandidat terbukti lebih berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemilih. Pandangan ini menempatkan pemilih sebagai makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, pemilih memiliki tujuan dalam tindakannya. Dalam konteks pemilihan, tindakan memilih bertujuan agar tercapai kemakmuran bersama. Agar tercapai kemakmuran bersama, dibutuhkan pemimpin yang telah terbukti memiliki kapabilitas dan kredibilitas tinggi. Oleh karena itu, figur kandidat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan seorang pemilih. Mesin partai saja ternyata tidak cukup untuk memenangkan seorang calon. Kapasitas intelektual, kepribadian, dan karya nyata sang calonlah yang sekarang menjadi pertimbangan utama para pemilih.Artinya, kualitas dan performa individu berada di urutan pertama, di atas afiliasi dengan partai. Kecenderungan perilaku pemilih Indonesia yang mulai mempertimbangkan figur kandidat adalah satu tahap maju dalam partisipasi politik. Dalam tahap selanjutnya kelak, pemilih juga akan mempertimbangkan program-program kandidat. Hal ini menunjukkan perubahan paradigma oleh partai politik sekarang mutlak dilakukan. Partai politik sekarang dipaksa untuk membenahi diri agar tidak ditinggalkan pemilihnya. Perubahan sistem pemilihan menjadi pemilihan langsung menempatkan pemilih sebagai penentu. Tak peduli seberapa baik seorang kandidat di mata partai, jika ia tidak memiliki kualitas dan performa yang diakui masyarakat, ia tidak akan dipilih. Jika ditarik ke tataran kebijakan dan garis perjuangan partai, sekarang partai politik wajib membumi. Partai dan fungsionarisnya yang duduk di jajaran legislatif dan eksekutif harus mampu membuktikan, mereka memang layak dipilih, baik karena kualitas dan performa orang-orangnya maupun karena program-programnya.

Saran

1. Perlu diberikan sosialisasi sejak dini tentang kesadaran berpolitik bagi Masyarakat pedesaan, pelajar sebagai pemilih pemula dalam pilkada dilingkup persekolahan, 2. Pemilihan Umum Kepala daerah, baik tingkat privinsi maupun Kabupaten/ Kota, di usulkan Tahun 2019 untuk satu putaran saja. Hal ini merupakan solusi untuk menekan biaya pilkada yang selama ini relatif mahal. Pilkada dua putaran merupakan pemborosan. 3. Pemilihan Umum secara serentak secara nasional di anggap lebih optimal untuk menekan mahalnya biaya pemilihan, apalagi jika biaya pilkada serentak di bebankan langsung kepada pemerintah pusat. 4. Pemerintah pusat  dalam hal ini mendagri untuk segera bertindak untuk memperbaiki regulasi pilkada dan  membuat  aturan yang riil tentang pilkada baik itu mengenai perekrutan ,  misalnya, Calon kepala daerah yang diajukan  harus dari anggota Partai politik itu sendiri serta Pembatasan Biaya biaya Kampanye calon kepala daerah. 5. Partai politik harus punya aturan yang jelas dalam perekrutan calon kepala daerah.

Penulis adalah Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan

STISIP NH Jambi dan Anggota Pelanta (NIA : 201307019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: