Perempuan Korban Penguasa
Perempuan Perspektif Adat
Bicara kedudukan perempuan dalam hukum adat, akan memicu timbulnya berbagai pertanyaan, hukum adat yang mana ? Dalam kenyataannya hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah jauh lebih bervariasi daripada yang dapat dikategorikan oleh kaum strukturalist, atau aliran hukum adat lama, seperti Von Vollenhoven itu.
Di sisi lain keberadaan hukum adat juga tidak bisa serta merta lepas dari relasinya dengan hukum-hukum lain seperti hukum tata negara, hukum agama dan sebagainya. Relasi antara hukum adat dan hukum agama sendiri sudah berlangsung begitu lama, bahkan dalam konteks tertentu sudah sulit dipisahkan, mana unsur hukum adat dan yang mana unsur hukum agama. Dalam masyarakat Melayu misalnya, kedatangan Islam melalui pendekatan cultural, menyebabkan munculnya pandangan bahwa Islam menyempurnakan adat, sehingga lahirlah terminology: adat basandi syara, syara basandi kitabullah, syara manato adat mamakai.
Akhirnya dalam memandang perempuan sebagai subjek dan objek hukum perspektif adat tidak bisa mengesampingkan hukum agama di dalamnya, sebagai wujud relasi adat dan agama. Pada konteks yang demikian ini, perampasan akan hak terhadap perempuan (kaum ibu), selaku istri, dan masyarakat dalam strata sosial oleh pelaku (baca : pelanggar norma) berarti telah melakukan pelanggaran terhadap hukum adat dan hukum agama.
Jika demikian halnya, ketika hukum positif berharga mahal bagi para korban dalam mencari keadilan hukum di mata publik. Selayaknya, hukum adat mampu mengembalikan kewibawaan hukum dalam pranata sosialnya. Kenapa penulis katakan demikian ? sebab, pelaku pelanggaran dan perampasan hak kaum Ibu mayoritas juga dilakukan di desa-desa yang jauh dari konstelasi politik perkotaan dan hukum publik, yang justru masih kental dengan nuansa adat dan budaya adi luhung para leluhur.
Akan tetapi, jika para pelanggar etika dan norma (baca : suami, perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan bahkan tokoh adat) terhadap kaum perempuan (baca : istri, murid, santri dsb) memiliki kekuasaan yang oleh kaum machiavelis hari ini dinamakan sebagai kekuatan politik, mampukah terminologi hidup basandikan syara’, syara’ basandikan kitabullah dijadikan sandaran terakhir dalam mencari keadilan hukum oleh kaum perempuan yang termarginalkan ? hemat penulis, sangat sulit. Sebab, ketika ranah hukum dan bahkan ranah adat sekali pun telah direcoki dengan kekuatan politik, dia akan mandul. Lihat saja kasus hukum pemilukada yang harusnya bersih dari kekuatan politik dan kekuasaan menjadi ramah dengan ketidakadilan akibat adanya politik dan kekuasaan bernama uang. Sehingga, kalau demikian, bertanya dan meminta perlindungan kepada siapa lagi bagi kaum perempuan jika haknya dilanggar kecuali kepada Allah swt, Tuhan Sekalin Alam. Sebab, hukum mahal, politik gemulai, adat impotensi wibawa. Wallahu A’lam
Penulis adalah Wakil Direktur FiSTaC
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: