Anggap Normal, Berbicara Tetap dengan Verbal

 Anggap Normal, Berbicara Tetap dengan Verbal

 \"Saya bawa mereka ke RSUD setiap minggu untuk dites pendengarannya. Hasilnya, anak-anak kami memang tunarungu,\" ucap perempuan yang sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar motivasi, khususnya terkait cara menangani anggota keluarga yang cacat, tersebut.

 Sejak itu, Masniari menyesuaikan diri dengan kondisi empat anaknya yang tunarungu. \"Kalau kita sudah tahu mereka tidak bisa mendengar, kenapa terus dipanggil-panggil\" Percuma. Jadi, saya yang harus mendatangi mereka atau minta ke saudaranya yang lain untuk memanggilkan,\" tuturnya.

 Dalam berkomunikasi dengan empat buah hatinya itu, Masniari enggan menggunakan bahasa isyarat seperti halnya orang lain yang memiliki anggota keluarga yang senasib. Dia tetap menggunakan metode komunikasi verbal seperti berbicara dengan normal. Karena itu, setiap berbicara, dia selalu berusaha berhadap-hadapan langsung dengan anaknya yang tunarungu. Dengan demikian, si anak bisa melihat bentuk mulut ibunya serta ekspresi yang menyertainya.

 \"Saya tetap berbicara verbal agar mereka juga belajar ngomong. Alhamdulillah, lama-lama mereka bisa mengerti setiap kata yang saya ucapkan. Bukan dengan isyarat tangan,\" ucapnya.

 \"Saya bilang, ayo lihat wajah dan bibir mama, sayang. Mereka akhirnya paham dengan kata-kata yang saya katakan,\" tambah dia.

 Ketegaran Masniari bersama suami dalam mendidik anak-anaknya yang tunarungu menggugah simpati atasan Ali di Depkeu. Berkat simpati Dirjen Anggaran Depkeu yang kala itu dijabat Benyamin Parwoto, Ali bisa membawa anak-anaknya ke kota besar yang memiliki fasilitas pendidikan yang memadai untuk orang-orang tunarungu. Ali pun pernah dipindahtugaskan ke Surabaya, Serang, lalu Jakarta agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik.

 \"Pemindahan tugas itu selalu terkait dengan masa depan pendidikan anak-anak saya yang tunarungu tersebut. Kami hanya bisa berterima kasih atas kebaikan Pak Parwoto kala itu,\" paparnya.

 Saat Ali pindah dinas di Jakarta pada 1989, Parwoto juga memfasilitasi keluarga Masniari dengan sebuah rumah dinas yang cukup luas. \"Rumah inilah yang dulu rumah dinas bapak,\" ujar Masniari.

Kendati begitu, tidak berarti Masniari tidak pernah mendapat cemoohan atas kondisi empat anaknya yang cacat tersebut. Suatu hari dia menerima perkataan yang kurang menyenangkan dari seorang wali murid di sekolah anaknya.

 \"Saya tidak pernah malu sedikit pun memiliki anak tunarungu. Tapi, yang namanya perasaan, sakit hati juga mendengar cemoohan orang kala itu,\" ungkapnya mengingat masa itu.

 Namun, Masniari tetap sabar menghadapi situasi semacam itu. Bahkan, dia selalu memotivasi seluruh anaknya agar tetap memiliki cita-cita yang tinggi meski memiliki kekurangan. Selain itu, Masniari tidak henti-henti berpesan kepada mereka untuk selalu bersyukur atas segala pemberian Tuhan kepada mereka.

 \"Saya bilang, kamu harus selalu bersyukur. Kalau tidak, Allah akan marah. Kamu bisa sukses seperti sekarang karena Allah,\" tegasnya.

 Masniari menyayangkan bila ada orang tua yang merasa malu memiliki anak yang tunarungu atau cacat tubuh lainnya. Karena itu, dia tidak segan-segan akan mengingatkan agar orang tua tersebut bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan berupa anak, meski terlahir tidak normal.

 \"Anak-anak itu kan titipan Allah. Jadi, kita harus menjaga dan merawatnya,\" ujarnya.

 Kesabaran Masniari dalam merawat dan mendidik anak-anaknya kini berbuah manis. Seluruh anak Masniari sekarang telah mentas dan hidup mandiri, tak terkecuali empat anaknya yang tunarungu. Bahkan, salah seorang putrinya, Rachmitha, sukses menempuh pendidikan hingga S-2 di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: