Pajak Awasi Sektor Properti
Periksa Penjualan Berdasar NJOP
JAKARTA-Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperketat pengawasan pajak sektor properti akhirnya membuahkan hasil. Ketika setoran pajak dari sektor lain menyusut, setoran pajak properti justru meningkat. Tahun depan, pengawasan pun bakal diperketat.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengatakan, jika pembayaran pajak properti dilakukan dengan benar sesuai aturan, potensi penerimaan pajaknya bisa dioptimalkan. “Karena itu, tahun depan kita akan lakukan pemeriksaan besar-besaran (di sektor properti),” ujarnya akhir pekan lalu.
Menurut Fuad, pemeriksaan pajak sektor properti sudah dimulai sejak September 2013. Namun, pada tahap awal hanya dilakukan pada perusahaan properti atau developer besar. “Tahun ini kami mulainya memang telat, jadi tahun depan kita intensifkan,”katanya.
Meski telat, hasilnya cukup memuaskan. Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan, hingga pertengahan Desember 2013, realisasi setoran pajak properti sudah mencapai Rp 56 triliun.
Angka itu naik 28 persen dibanding realisasi periode sama tahun lalu. Itu berasal dari pajak konstruksi dan pajak real estate. “Hitungan kasar kami, harusnya bisa sampai Rp 60 triliun,”ucapnya.
Fuad menyebut, sebenarnya ada tiga sektor yang menjadi target sasaran pengawasan ketat aparat pajak. Yakni properti, pertambangan, dan kelapa sawit. Namun, pemeriksaan sektor pertambangan dan kelapa sawit belum bisa dijalankan karena terbatasnya aparat pajak dan lokasinya yang sulit dijangkau. “Jadi kita fokus dulu pada sektor properti,” ujarnya.
Bagaimana pengetatan pengawasannya Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak Chandra Budi mengatakan, selama ini masih banyak pengembang perumahan yang menghitung pajak jual beli rumah berdasar nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal, nilainya lebih rendah dari harga riil.
“Para pengembang sebenarnya sudah tahu bahwa PPN (pajak pertambahan nilai) dihitung berdasar harga riil. Tapi memang banyak yang sengaja menghitung dengan NJOP,”katanya.
Sebagai gambaran, pengembang harus membayar PPN 10 persen atas penjualan rumah ke konsumen. Misalnya, jika harga riil sebuah rumah adalah Rp 1 miliar, maka pengembang harus membayar PPN Rp 100 juta. Namun, jika dihitung berdasar NJOP, harga rumah bisa jadi hanya Rp 500 juta. Dengan begitu, pembayaran pajaknya hanya Rp 50 juta. Artinya, pemerintah kehilangan potensi penerimaan Rp 50 juta per satu rumah. “NJOP sebetulnya hanya merupakan acuan penghitungan nilai aset, bukan untuk penghitungan pajak,” jelasnya.
Menurut Chandra, agar tidak terlalu kelihatan memanipulasi penghitungan pajak, pengembang biasa menggunakan acuan NJOP plus 20 atau 25 persen. Dengan demikian, nilainya tidak terlalu rendah. “Tapi tetap saja nilainya masih di bawah harga riil, sehingga penerimaan pajak berkurang,” ujarnya.
(owi/oki)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: