Paradoks Pendidikan Kita

Paradoks Pendidikan Kita

(Catatan Akhir Tahun)

Oleh: Amri Ikhsan*)

Korupsi yang dilakukan kaum terpelajar, tawuran, video mesum pelajar, demo anarkis, konflik sara, premanisme, mencontek saat ujian, plagiat, arogansi, mengabaikan nilai nilai agama, lebih mementingkan meraih nilai tinggi ketimbang meraih moral yang bagus. dan banyak lagi yang lain merupakan bukti kegagalan pendidikan kita. Substansi pendidikan adalah berubahnya tingkah laku peserta didik ke arah yang positif. Ini hanya bisa terjadi bila pendidikan mengedepankan komunikasi yang bermakna dalam proses pembelajaran.

Jadi, inti dari pendidikan adalah proses pembelajaran. Kurikulum, perangkat/media pembelajaran, UU, PP, permen, Perdirjen yang mengatur pendidikan tidak ada artinya apabila guru tidak menjalankan proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Jadi proses pembelajaranlah yang membuat siswa berkarakter, proses dimana komunikasi guru memberi inspirasi kepada siswa untuk berkarya yang merupakan mimpi republik ini.

Kalau proses pembelajaran menjadi inti dari pendidikan, kenapa perhatian pemerintah lebih banyak ‘mengurus’ ‘kehadiran guru? Kenapa perhatian lebih banyak terfokus pada ‘permainan angka’: 18 jam, 24 jam, 37,5 jam? Secara substantif, kehadiran guru di sekolah belum dikatakan bahwa seorang guru itu sudah melaksanakan proses pembelajaran.

Pada UUGD Pasal 35 ayat 1, dinyatakan bahwa “beban keja guru mencakup kegiatan pokok merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih siswa, serta melaksanakan tugas tambahan”. Kemudian pada ayat 2, dinyatakan “beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu”. Sementara pada ayat 3 dikemukakan bahwa penjelasan dan pengaturan terhadap jam ini akan diatur dalam PP.

Konsep ’24 jam tatap muka’ yang merupakan kuantifikasi dari beban kerja guru merupakan hal yang menarik untuk didiskusikan ditengah sosialisasi ‘para pejabat’ tentang beban kerja guru’. Konsep tatap muka dianggap sebagai indikator, bila seorang guru melaksanakan beban kerja secara langsung dengan peserta didik di dalam kelas (live, langsung).

Bila UUGD   mengartikan “tatap muka”  dengan ‘bertemu langsung antara guru dengan peserta didik dalam ruang kelas’, sehingga yang dimaksud dengan “sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu”. Ini adalah proses belajar mengajar dalam kelas dan mengindikasikan ‘tugas yang maha berat’ guru dalam“(1) merencanakan pembelajaran, (2) menilai hasil pembelajaran, (3) membimbing dan (4) melatih peserta didik, serta (5) melaksanakan tugas tambahan”  tidak dapat dihitung sebagai jam tatap muka. Ditambah lagi tugas guru dalam menjalankan tugas ‘mulia’ sebagai guru piket, wali kelas, pembina tidak diakui sebagai beban kerja. Tugas ini sangat mempengaruhi produktivitas sekolah mendidik siswanya. Seperti inikah perlakuan kita terhadap guru?

Jadi, apakah jam tatap muka sama dengan jam pembelajaran? Apabila guru biologi diberi beban mengajar 24 jam pembelajaran tetapi dilakukan 12 jam tatap muka sudah melaksanakan aturan ini, ini yang masih dipertanyakan. Mayoritas dunia pendidikan mengartikan bahwa dua jam pembelajaran sebagaimana dicantumkan dalam KTSP diimplementasikan dalam bentuk 2 jam tatap muka.

Implikasinya bila dua ‘jam tatap muka’ pada UUGD  itu dimaknai sebagai ‘dua jam proses belajar di kelas’, maka secara yuridis seorang guru harus melaksanakan PBM di kelas sebanyak 24 jam tatap muka. Dengan kata lain bila ada mata pelajaran memiliki bobot 2 jam pembelajaran, maka seorang guru tersebut setara mengajar di 12 kelas.

Penjelasan atas  PP RI NO 74 Tahun 2008 Pasal 52 ayat (2) Istilah tatap muka berlaku untuk pelaksanaan beban kerja guru yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran. Beban kerja guru untuk melaksanakan pembelajaran paling sedikit 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 am kerja dalam 1 minggu.

Aturan ini jelas sekali memaparkan bahwa jam mengajar guru 24-40 jam perminggu sama dengan jam kerja pegawai negeri sipil sebanyak 37,5 jam perminggu.

Ini mesti dimaknai bahwa tugas guru itu bukan hanya datang atau kerja tetapi tugas guru lebih komprehensif dari itu. Secara prinsip,guru itu tidak pernah kerja, tetapi dia mendidik, mengajar, mengarahkan, membimbing dsb peserta didik. Semua orang bisa kerja tapi tidak semua orang bisa mendidik, dan itu lah guru. Kita tidak bisa mengatakan bahwa orang yang bekerja itu mendidik tetapi orang yang mendidik sudah pasti kerja.

Beban guru mengajar selama 24-40 jam tatap muka dalam seminggu (pasal 35 ayat 2) apalagi harus datang ke sekolah 37,5 jam per minggu jelas mengurangi semangat meningkatkan kualitas guru itu sendiri. Dengan mengajar selama 24-40 jam tatap muka apalagi harus hadir 37,5 jam seminggu, jelas tidak ada waktu bagi guru untuk belajar, dan mengembangkan diri karena disibukkan harus hadir di sekolah.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: