Pentingnya Mendidik Pemilih Muda
Oleh : Bahren Nurdin SS, MA
Jika kita semua bersepakat untuk membangun sebuah hipotesa ‘memilih (dalam pemilu) menentukan nasib bangsa’, maka dengan tegas dapat disimpulkan nasib bangsa ini teranyata ada di tangan anak muda. Dengan bahasa lain, jika anak muda bangsa ini mampu berperan dengan aktif dan cerdas dalam pemilihan umum (Pemilu) maka baiklah nasib bangsa ini. Dan sebaliknya, jika para anak muda ini tidak mengambil bagian, atau setidaknya tidak peduli dengan perhelatan pemilihan pemimpin bangsanya, maka buruklah nasib bangsa ini.
Alur berpikir seperti ini rasanya tidak berlebihan. Lihat saja angka-angka jumlah pemilih muda pada beberapa Pemilu terakhir. Pada tahun 2009 paling tidak terdapat 36 juta pemilih muda dari 171 juta pemilih. Pemilu 2004, dari 147 juta pemilih, 27 juta pemilih tergolong pemilih muda. Banyak pengamat memprediksi bahwa pada pemilu 2014 mendatang angka ini akan terus bertambah. Tidak tanggung-tanggung diperkirakan angka pemilih muda akan mencapai 40% dari jumlah mata pilih yang ada.
Jika prediksi ini tidak meleset, maka hanya dengan membidik segmen anak muda ini saja sudah dapat dipastikan memuluskan jalan seorang calon presiden meraih kedudukan sebagai pemimpin puncak negeri ini. Pada pemilihan presiden 2009 saja, suara yang diperoleh pasangan Susilo Bambang Youdhoyono (SBY) dan Boediono hanya 60,80%. Artinya, jika berkaca pada hasil ini, pemilih muda mendatang (40%) memiliki peran lebih dari separo (67%) penentu kemenangan. Berita buruknya, alangkah celakanya negeri ini jika para pemilih muda ini terabaikan dan tidak memiliki pendidikan politik yang baik. Di sinilah peran penting pendidikan politik kaum muda.
Akhir-akhir ini agaknya ada kesadaran bersama (common awareness) masyarakat Indonesia dari berbagai element untuk memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan politik para pemilih muda ini. Siapa pemilih muda itu? Secara gamblang, mereka yang berumur 17 sampai dengan 29 tahun. Paling tidak ada dua alasan mendasar mengepa perhatian ini penting. Pertama, jumlahnya yang relatif besar. Kedua, karakter dan perilaku politik mereka yang ‘unik’. Unik karena tidak dapat dipungkiri segala atribut sifat anak ‘muda’ seperti belum matang, suka hura-hura, masih labil, belum memiliki visi yang jelas, dan lain sebagainya yang masih melekat erat. Lantas siapa saja yang bisa berperan memberi pendidikan politik kepada mereka?
Sekolah dan Kampus
Pemilih muda yang berusia 17 sampai dengan 29 tahun tersebut sudah dapat dipastikan mereka banyak menghabiskan waktu di sekolah dan kampus. Pelajar di sekolah, mahasiswa di kampus. Sudah maksimalkah peran dua institusi pendidikan ini untuk mendidik kesadaran politik mereka. Sekolah minsalnya, sejauh mana sekolah berperan memberi pendidikan politik pada para pelajar? Dengan beban mata pelajaran yang begitu banyak yang harus diajarkan di sekolah, tidak mungkin ada perhatian khusus pada persoalan ini. Jika pun ada, itu pasti hanya sebatas apa yang melekat (embedded) pada mata pelajaran tertentu seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Tentu ini dirasa sangat tidak cukup dibanding dengan segala persoalan dan problematika dalam dinamika politik bangsa saat ini.
Begitu juga halnya dengan kampus. Dapat dipastikan tidak semua mahasiswa mendapat pendidikan politik di kampusnya, kecuali mahasiswa dari Fakultas Sosial dan Ilmu Politik. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan yang mupuni terhadap persoalan pemilihan umum. Labih-lebih lagi di kampus para mahasiswa telah terkonsentrasi pada fakultas dan jurusan yang mereka ambil. Mata kuliah-mata kuliah yang mereka miliki sudah sangat khusus. Satu-satunya harapan terjadinya proses pendidikan politik para mahasiswa terletak pada organisasi-oraganisasi kemahasiswaan baik internal mau pun eksternal kampus. Namun hari ini, kita juga mulai mempertanyakan peran serta organisasi-oraganisasi ini. Sering kali mahasiswa terjebak dan terjerembab pada doktrinisasi organisasi tertentu yang sekali gus ‘mengkerangkeng’ kebebasan ‘berpolitik’ para mahasiswa. Lebih ekstrim lagi, saya ingin mengatakan bahwa saat ini sudah banyak oraganisasi ekstra kampus yang ditunggangi oleh kelompok atau golongan tertentu dengan kepentingan politik tertentu sehingga para anggotanya tidak lagi bebas menentukan hak politik mereka.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya memiliki andil yang sangat penting dalam memberikan pendidikan politik kepada kaum muda ini. Namun saat ini, kita menyadari KPU pun memiliki segudang persoalan yang harus diselesaikan. Begitu juga dengan partai politik. Seharusnya juga dapat berperan maksimal untuk mendidik mereka. Namun tidak banyak yang benar-benar ingin melakukannya. Jika pun ada, sering kali bias kepentingan. Maka diperlukan sebuah wadah independent yang berperan aktif mampu bekerja sama dengan semua pihak.
Center for Election and Political Party (CEPP)
Ketika semua terbelenggu dengan segala problematika yang ada untuk mendidik para pemilih muda ini, maka kita tidak boleh patah arang. Membangun bangsa ini tidak cukup dengan hanya saling menyalahkan. Akan tetapi, bagaimana kemudian semua elemen bangsa bersatu saling bahu membahu, saling melengkapi, bekerja sama sepenuh hati demi kepentingan bangsa.
Kehadiran organisasi publik Center for Election and Political Party (CEPP) di Provinsi Jambi diharapkan menjadi angin segar sekali gus perekat semua elemen bangsa yang peduli terhadap pendidikan politik kaum muda negeri ini, bil khusus di Provinsi Jambi. CEPP membulatkan tekat untuk menyatukan semua pihak (sekolah, kampus, LSM, KPU, Partai Poltik, DPR, Banwaslu, dll) untuk bekerja sama memberikan pendidikan politik pada gernerasi muda. Tentu, kehadiran CEPP tidak hanya sebatas mendidik mereka untuk memilih dalam pemilu, tetapi jauh dari itu CEPP akan mempersiapkan mereka untuk menjadi yang dipilih pada umur Indonesia 100 tahun mendatang. Merekalah pemegang tampuk kekusaaan itu. Maka mereka harus cerdas! Selamat atas Launching CEPP Jambi semoga memberikan karya terbaik untuk anak bangsa negeri ini, amin.
(Dosen IAIN STS Jambi, Sekjen Pelanta, dan Devisi Kajian CEPP Jambi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: