Blusukan Hutan untuk Abadikan Capung Langka

 Blusukan Hutan untuk Abadikan Capung Langka

 Terpantik kurangnya literasi mengenai capung, Sigit menggagas berdirinya IDS yang merupakan lembaga nonprofit untuk berkonsentrasi dan berbicara persoalan lingkungan yang lebih luas.

 Mulanya dia tidak berpikir untuk menjadikan capung sebagai fokus. Sebab, sebelumnya Sigit lebih aktif di Indonesia Wildlife Photography atau organisasi fotografi alam liar.

 \"Ternyata motret capung itu susah. Karena itu, harus belajar lebih dulu tentang kebiasaan hingga ruang hidup capung seperti apa,\" tutur pria kelahiran Temanggung, 3 Agustus 1968, tersebut.

 Nah, saat itulah dia mengakui referensi tentang capung di Indonesia cukup sulit ditemukan. Karena itu, Sigit berusaha mencari sendiri informasi tersebut sekaligus mendiskusikannya dengan para akademisi di kampus. Tidak hanya itu, dia juga berupaya mengontak lembaga dan ahli capung dari luar negeri.

 Setelah mendapat referensi awal nama-nama spesies dari ahli asing, aneka gambar capung hasil jepretan Sigit dan delapan kawannya diunggah ke media sosial. Dari situlah diskusi berkembang. Ketika respons publik terus meningkat, pada 2009 IDS resmi didirikan dan berpusat di Malang, Jawa Timur, dengan konsentrasi utama pelestarian capung.

 \"Kami mendata dan meneliti capung lewat hasil fotografi. Lantas, menindaklanjuti dengan edukasi dan kampanye,\" terangnya.

 Bila awalnya IDS hanya beranggota sembilan orang, kini komunitas itu berhasil menumbuhkan jaringan aktivis pelestari capung di berbagai daerah. Banyak pula penggiat capung yang berlatar belakang ilmu biologi dan pertanian serta sosial budaya dari berbagai perguruan tinggi.

 Setelah lebih dari tiga tahun IDS didirikan, penelitian serta pendataan capung semakin intens. Tapi, tentu saja pendataan itu tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, Sigit dan para aktivis IDS harus keluar masuk hutan untuk berburu capung-capung tersebut. Tidak lagi bisa diperoleh di halaman-halaman rumah penduduk.

 Bahkan, perburuan itu tidak hanya dilakukan saat siang. Terkadang Sigit harus \"blusukan\" ke hutan pada malam. \"Kadang sendiri, kadang bersama teman. Paling penting safety,\" ujarnya.

 Tanpa menyebut jumlah dana yang harus disiapkan untuk hunting itu, dia mengaku sudah berusaha mendata capung hampir di seluruh Jawa. Antara lain, di Banyuwangi, Semarang, Malang, dan Jogja.

 \"Yang paling banyak memang saya temukan di Banyuwangi. Dari empat lokasi yang saya masuki, sudah ada 52 jenis. Ada juga beberapa capung endemis,\" paparnya.

 Beberapa lokasi di Banyuwang itu, antara lain, daerah Kalibendo, Sungai Kalongan, Genteng, serta pesisir pantai. \"Itu belum termasuk Alas Purwo,\" ujarnya.

 Yang menarik dari temuan Sigit di Banyuwangi adalah capung jenis Amphiaeschna ampla. Yakni, jenis capung yang belum pernah diperbarui datanya sejak dipublikasikan ilmiah oleh ahli capung Belanda pada 1950-an.

 \"Menemukan capung yang belum ter-update datanya paling menggembirakan. Saya langsung foto detailnya,\" tegas alumnus Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta, itu.

 Lewat media visual fotografi, hingga kini Sigit telah mengumpulkan sekitar 78 jenis capung dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dia tergugah untuk mencari jenis capung bergenus Depranosticta yang diperkirakan punah di Jawa Timur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: