>

Pengusaha Tambang Protes Pajak Progresif

Pengusaha Tambang Protes Pajak Progresif

JAKARTA - Drama adu mulut mengenai kebijakan hilirisasi mineral Indonesia rupanya belum berakhir. Meski sudah mendapatkan relaksasi ekspor melalui regulasi kadar minimum pengolahan, pengusaha pertambangan tembaga masih berkoar bahwa industri mineral terancam jatuh. Hal itu merupakan respon terhadap keputusan kenaikan Bea Keluar secara bertahap produk konsentrat hingga 60 persen pada 2016.

                            Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) Natsir Mansyur menilai, keputusan Menteri Keuangan tersebut dilakukan secara sepihak. Padahal, keputusan ini justru bisa merugikan negara dengan memberikan defisit APBN. \"Keputusan itu tidak inovatif. Jangan sampai APBN defisit dan pengusaha tambang yang merupakan kontributor APBN/APBD jadi korban Kebijakan Menkeu,\"ujarnya di Jakarta kemarin (15/1).

                            Dia berpendapat, Kementerian Keuangan tak memahami esensi dari kesepakatan awal dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurutnya, pemerintah seharusnya sudah sepakat bahwa kadar konsentrat tembaga sebanyak 15 persen sudah merupakan nilai tambah yang cukup bagi negara. \" Ini kan sudah melalui proses industri. Sudah menggunakan biaya produksi dan investasi. Tapi mereka memutuskan sepihak tanpa mengajak bicara pengusaha tambang tembaga, asosiasi, dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri),\" ungkapnya.

                            Kondisi tersebut, lanjut dia, sangat disayangkan oleh pelaku usaha pertambangan. Sebab, pihaknya menilai perumusan peraturan turunan kebijakan mineral sebenarnya sangat membantu. PP Nomor 1 2014 dan Permen ESDM Nomor 1 2014 dinilai sangat mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan industri tembaga. \"Jangan asal menetapkan BK. Semangat PP No.1/2014, Permen ESDM No.1/2014, sudah baik dan tepat. Namun penetapan BK yang tinggi akan merusak bisnis mineral tembaga. Akibatnya, PHK terjadi, ekonomi daerah tidak jalan,bisnis penambang tutup,\" terangnya.

 

            Untuk mencari solusi, dia menuntut agar Kementerian Keuangan segera mendiskusikan masalah ketetapan BK dengan pengusaha terkait. Kemudian, menetapkan revisi BK sesuai dengan pertimbangan teknis industri. \"Tujuan UU Minerba adalah agar program hilirisasi mineral dapat tercapai. Namun jika ada kebijakan yang tidak mendukung terhadap hal itu, maka justru bisa mencederai semangat hilirisasi itu sendiri,\" tegasnya.

 

            Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan ketetapan pajak progresif untuk ekspor mineral melalui permen Keuangan No 6/PMK.011/2014. Dalam ketetapan tersebut, tarif bea keluar diterapkan naik bertahap. Mulai tahap pertama 20 persen hingga dengan 60 persen bakal dirubah setiap semester sampai dengan 31 Desember 2016. \"Ini untuk mendorong pelaku usaha segera melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dengan membangun pabrik smelter,\" ujar Menteri Keuangan Chatib Basri.

            Sebagai rincian, tahap awal pajak progresif tembaga sejak 12 Januari sampai 30 Juni 2014 ditetapkan sebesar 20 persen.  Kemudian, BK bakal naik 5 persen lagi menjadi 25 persen pada semester kedua tahun ini. Pada 2015 bea yang berlaku menjadi 35 persen dan kembali naik 1 Juli 2015 menjadi 42 persen. Tahap akhir, BK bakal ditetapkan menjadi 52 persen pada 2016 dan disempurnakan menjadi 60 persen pada semester kedua.

(bil/oki)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: