Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri

Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri

Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan \"Orang-Orang Yang Tak Diinginkan\"

Tak seorang pun ingin terlahir dan hidup sebagai penyandang cacat. Namun, 31 anak asuh di Panti Wisma Tuna Ganda di Jalan Raya Bogor,  Palsigunung, Cimanggis, Jakarta Timur, harus menyandang lebih dari dua jenis cacat. Mereka pun praktis selalu butuh bantuan orang lain untuk mengerjakan hal yang sangat mudah bagi orang normal.

Ayatollah Antoni, Jakarta

 

DANI Alvani terlihat jengah duduk di kursi rodanya ketika berada di tengah-tengah anak-anak dari anak-anak dari Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Talenta Kids, Lenteng Agung, Sabtu (8/2) lalu. Pertunjukan badut di selasar belakang Wisma Tuna Ganda (WTG) ternyata tak membuat gadis 16 tahun penderita keterbelakangan mental (mental retardation/MR) itu riang.

Dani yang juga menyandang lumpuh sejak lahir, menunjukkan reaksi agar dijauhkan dari badut. Ia pun lebih tenang saat ditarik ke ruangan dalam. Sementara di luar ruangan, anak-anak TK yang berkunjung ke panti tempat para penyandang cacat itu tertawa riang melihat badut beraksi.

Di sebuah bed tak jauh dari Dani dan kursi rodanya berada, terbaring beberapa penderita cacat lainnya. Ada Tifani Ayu Wulan, penderita hidrosefalus yang pada 18 Januari lalu genap berusia 13 tahun. Tak berdaya terbaring di atas bed besi coklat, Tiwul -panggilan Tifani- juga menyandang tunawicara, keterbelakangan mental/MR dan spastic paralysis (kaku).

Hanya bersekat tembok, ada Teguh Idadi yang tengah tengkurap sembari terus mencoba memasukkan kedua kepalan tangannya yang terbungkus kain ke dalam mulut. Teguh adalah warga asuh tertua di WTG. Lelaki kelahiran Cirebon, 7 Juni 1968 itu sudah menghuni WTG sejak 28 April 1975. Sesekali Teguh meraung. Ia adalah penderita keterbelakangan mental, tunawicara, tunarungu, tunanetra, cerebral palsy (kelainan akibat kerusakan otak) dan lumpuh.

Ada pula kakak beradik asal Medan, Markus dan Freddy Manulang. Keduanya adalah penderita microcephalus. Ukuran kepalanya memang jauh lebih kecil dari rata-rata normal.

Namun, Manulang bersaudara menjadi penghuni WTG bukan semata-mata karena menderita microcephalus. Keduanya juga penyadang tunarungu dan tunawicara, sehingga sejak 1 Juni 1981 menjadi warga asuh di panti asuhan di bawah Panti Yatim Piatu Muslim itu.

Masih ada puluhan penyandang cacat lainnya di WTG. Rinciannya ada 19 laki-laki dan 12 perempuan.

Meski sebebarnya WTG berada di bawah naungan yayasan muslim, namun penghuninya tak harus beragama Islam.  \"Syarat agar bisa ditampung di sini adalah menderita cacat ganda dan umurnya kurang dari 10 tahun,\" kata Suciati, petugas administrasi WTG.

Umur sengaja dibatasi kurang dari 10 tahun agar lebih memudahkan dalam pembinaan sehingga anak asuh bisa dilatih meski hanya sekadar untuk mengurus diri sendiri. Misalnya agar bisa mandi dan buang air sendiri. \"Ada yang sudah bisa membantu kami mengepel lantai. Tapi sebagian besar memang harus dibantu,\" lanjut perempuan asal Tegal, Jawa Tengah itu.

Latar belakang anak asuh di WTG pun beragam. Ada yang dititipkan pihak keluarga, ada pula yang diambil dari panti asuhan lainnya. \"Ada yang ditemukan di tong sampah, ada yang ditinggal begitu saja,\" kata Suciati sembari menyebut nama salah satu anak asuh WTG. \"Ada yang orang tuanya awalnya cuma titip, tapi setelah itu tak bisa dihubungi lagi.\"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: