>

Etnis Tionghoa Dalam Demokrasi Indonesia

Etnis Tionghoa Dalam Demokrasi Indonesia

Oleh : Wenny Ira R, S.IP., M.Hum

                Etnis Tionghoa bukan merupakan etnis yang asing di Indonesia. Melalui jalur perniagaan, leluhur etnis Tionghoa di Indonesia telah melakukan imigrasi sejak ribuan tahun yang lalu, dan itu dilakukan secara bergelombang. Kini pasca reformasi, Undang-Undang No.12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, memperkuat kedudukan etnis Tionghoa sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia.

                Eksistensi etnis Tionghoa dalam lingkup nasional Indonesia melalui jalan yang cukup berliku memang. Dari awal masa kolonial bagaimana keberadaan etnis ini dipandang strategis oleh pemerintah kolonial sekaligus sebagai saingan. Dalam pada itupun etnis Tionghoa terpecah kedalam beberapa golongan, yang pro terhadap pemerintah kolonial karena merasa mendapat keuntungan terhadapnya, yang memilih sebagai tetap sebagai “yang lain” karena cita-cita dan idealismenya terhadap bakti kepada negara asal, yang terakhir memilih sebagai bagian dari warga masyarakat yang telah menyatu dengan kebudayaan Indonesia dan kehidupannya.

                Secara politis pemerintahan kolonial saat itu memunculkan pemimpin-pemimpin etnis Tionghoa dalam kantong-kantong wilayah yang telah ditetapkan bagi keberadaan etnis tersebut namun hanya sebatas bagi kepentingan mengamankan wilayah zona ekonomi. Nampaknya mindset sepeti ini tidak dapat dihapuskan seiring dengan pergantian rezim di nusantara kemudian. Meminjam istilah dari Christinne Susanna Tjhin, bagaimana yang terbentuk kemudian partisipasi etnis Tionghoa, hanya sebatas pada partisipasi celengan.

                Partisipasi celengan ini kemudian diperkuat lagi pada masa orde baru. Ketika itu partisipasi politik etnis Tionghoa benar-benar diberangus, juga hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang telah lama mendiami wilayah nusantara, dimana bukti-bukti sejarah mencatat adanya akulturasi dan asimilasi secara sosial mendalam antara etnis ini dengan masyarakat Indonesia. Padahal beberapa tokoh penting dalam sejarah Indonesia bahkan terindikasi memiliki darah etnis ini, Raden Patah yang memimpin Demak misalnya, juga beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa.  Tetapi orde baru lebih memilihnya sebagai “yang lain” yang ditempatkan sebagai “celengan” untuk menggemukkan pundi-pundi kemakmuran rezim tersebut, sangat haram untuk dilibatkan dalam politik praktis negara.

                Masa setelah runtuhnya rezim orde lama dan pergantian ke orde baru adalah masa terkelam yang membuat etnis Tionghoa trauma mengambil jalan untuk masuk kekehidupan politik praktis. Setelah reformasi dimana kesempatan terbuka bagi setiap warga negara Indonesia termasuk etnis Tionghoa sendiri untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis memperkuat demokrasi, belum dimanfaatkan secara baik oleh etnis ini. Posisinya sebagai “celengan” yang hanya berkutat dibidang ekonomi, menyebabkan persepsi kemunculan etnis Tionghoa kemudian dalam bidang politik justru dilabeli dengan sakwa sangka, kepentingan apakah lagi yang hendak diambilnya? Sakwa sangka terjahat kemudian adalah bahwa keterlibatan etnis ini dalam politik  hanya dalam rangka melindungi kepentingannya dijaringan ekonomi semata.

                Memang populasi etnis Tionghoa di Indonesia terkenal dengan gambaran, 2% populasi yang merajai 70 % perekonomian nasional. Minoritas dibidang kehidupan sosial kemasyarakatan, akan tetapi mayoritas dibidang ekonomi. Gambaran ini telah menyulutkan ketimpangan sosial, yang secara tak sadar efeknya menghembuskan isu kebencian rasial yang tak terkira. Padahal kita berhutang pada prestasi atlet-atlet olahraga yang mewakili nama Indonesia di pentas Internasional, dan itu oleh etnis Tionghoa. Belum lagi bagaimana pada masa pergerakkan Indonesia hingga kemerdekaan, tak sedikit dari kalangan etnis ini yang pro terhadap Indonesia karena telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, menyumbangkan pemikiran dan perubahan sosial kemasyarakatan.  Gerakan kamar dan asosiasi dagang yang kemudian di tiru oleh Indonesia misalnya, gerakan kesadaran akan pendidikan, pers dan media cetak dikalangan Indonesia, penyebaran simbol-simbol nasionalisme seperti lagu Indonesia raya misalnya, dan masih banyak lagi, terutama pemikiran ekonomi di Indonesia.

                Kini tidak ada lagi sekat dalam kehidupan politik ketika gelombang demokrasi menyerbu tanah air  Indonesia. Apalagi semenjak Indonesia meratifikasi undang-undang diskriminasi ras dan etnik. Seharusnya etnis Tionghoa terlepas dari anggapan miring keterlibatannya dalam dunia politik dapat mengambil kesempatan tersebut. Sayangnya, fakta kemudian mempersulit keterbukaan era demokarasi ini untuk dapat merangkul minoritas. Sebagian etnis Tionghoa masih meminjam istilah Christinne Susanna Tjhin, masih terperangkap dalam “kekuperan”nya karena merasa nyaman dalam posisi sebagai “celengan” itu.

                Tetapi setidaknya, ada kondisi-kondisi yang dapat mendorong etnis Tionghoa untuk meningkatkan partisipasi politiknya dalam arus demokrasi Indonesia. Sejak tahun 2004, tercatat meskipun sedikit beberapa calon legislatif dari etnis Tionghoa yang berhasil duduk di kursi DPR-DPRD, perkembangan kemudian akhir-akhir ini dapat ditemukan partisipasi etnis ini dalam tataran politik praktis eksekutif daerah. Kemunculan Ahok yang menjadi wakil Jokowi, terutama dapat dijadikan suatu kondisi yang mendukung bagi peningkatan partisipasi politik etnis Tionghoa. Di Jambi sendiri, tercatat kira-kira sebanyak 10 orang calon legislatif dari etnis Tionghoa yang memperebutkan bursa kursi DPRD provinsi-kota hingga kabupaten, dan tersebar di beragam partai politik.

                Bagaimanapun juga, apakah pertanyaan mengenai partisipasi poitik etnis Tionghoa sebagai wujud integrasi, asimilasi, atau multikultural, dapat terjawab seiring waktu.  Partisipasi politik etnis Tionghoa adalah warna tersendiri dalam demokrasi Indonesia. Jika kondisi politik dan sistim demokrasi di Indonesia berhasil merangkul juga meningkatkan partisipasi politik etnis Tionghoa, hal ini merupakan pendidikan politik yang paling berharga. Bukankah dalam demokrasi kita didoktrin bagaimana mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, tetapi hasil suara terbanyak tersebut juga tidak menafikkan suara minoritas. Dalam tataran demokrasi Indonesia, untuk kasus pada etnis tionghoa, bagaimana demokrasi yang berjalan mengakomodir minoritas ini yang belum tampak. Disisi lain, pendidikan politik lainnya yang dapat dipetik dari keberadaan suara minoritas, adalah bagaimana nantinya cara sebuah sistem politik memperlakukan suara minoritas pada tataran atasnya, dan dibawah bagaimana minoritas dihadapkan pada kepentingan-kepentingannya yang tidak sebatas pada pemenuhan ekonomi, tetapi juga hak-haknya sebagai manusia berpolitik, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dapat diperjuangkan hingga pada tingkat sistem yang tertinggi yang mampu menaungi mereka, dan menjamin mereka secara konstitusional lewat jalur politik.

(Wakil Ketua II, dan Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, anggota Pelanta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: