Islamic Banking and Social Responsibility
Akan tetapi, dalam praktiknya masih banyak Bank Syariah yang semata-mata lebih mengutamakan keuntungan maksimal, sebagaimana bank-bank konvensional selama ini. Seharusnya mereka menyertakan komponen tanggung jawab sosial dalam kegiatan operasionalnya sebagai tujuan akhir dalam masyarakat secara utuh.(Ahmad K, 2000).
Merubah Paradigma
Orientasi utama pendirian sebuah korporasi adalah untuk memperoleh keuntungan, pertumbuhan ekonomi korporasi dan keberlangsungan usaha. Perolehan keuntungan tergambarkan dalam bentuk penerimaan dividen bagi para pemegang saham. Dan itu menjadi konsekuensi logis dari bisnis yang dijalankan. (Frank Knight, 1964).
Secara konseptual, mencari keuntungan sebagai tujuan korporasi muncul bersamaan dengan lahirnya sistem ekonomi kapitalisme dalam masa industrialisasi. Pada saat mengerjakan proyek-proyek komersial pada awal industrialisasi di Inggris, dan di Amerika, korporasi bermetamorfosis menjadi lembaga privat yang mencari keuntungan semata. Segal gerak geriknya hanya untuk mengumpulkan kekayaan. (Lee Drutman,tt).
Terkait dengan tujuan perusahaan, pendapat Adolf Berle pada tahun 1930 an di Amerika Serikat, mengatakan bahwa, tujuan utama korporasi adalah mencari keuntungan untuk kepentingan pemegang saham bukan untuk pihak lainnya. Sehingga ia menekankan adanya perlindungan hak pemegang saham dari kecurangan para direksi (machianation). (Marjorie Kelly Citizen,tt).
Dalam perspektif demikian, sangat jelas jika aktivitas Bank Syariah sebagai sebuah perusahaan yang di dalamnya terdapat unsur pemegang saham (shareholders), sudah pasti akan memikirkan aspek-aspek teknis dalam upayanya memperoleh keuntungan yang besar, dengan berupaya menghapuskan bagian-bagian kompetisi bisnis dengan perusahaan (baca : Bank Syariah) lainnya. Sehingga, menjadi besar dengan perhitungan profit margin perusahaan yang signifikan menjadi orientasi mutlak perbankan syariah sebagai konsekuensi logis pertanggungjawaban manajemen kepada shareholders.
Oleh karena itu, dimensi bisnis yang berlandaskan kepada at-tauhid (teologis-etis) yang menjadi filosofi Bank Syariah, harus merubah paradigma kapitalis yang hedonistis yang selama ini mengakar kuat dalam tubuh korporasi, dan setingkatnya. Yakni, mengumpulkan, mencari dan mendulang keuntungan bagaimanapun caranya (baik halal atau haram) untuk kemajuan bisnis dan pertumbuhan perusahaan. Dan menjadi perusahaan yang beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitar melalui pendayagunaan modal dan kemampuan leader bank Syariah dalam membangun masyarakat yang lebih sejahtera melalui program-program pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk Comunity Development maupun pemberdayaan melalui ekonomi kerakyatan lainnya.
Dengan demikian, terjadilah pergeseran orientasi yang lebih mengedepankan aspek kesalehan sosial dalam tubuh bank Syariah. Jika tidak, bank Syariah yang mendeklarasikan diri sebagai bank bebas bunga dan pro rakyat kecil hanya bagian dari kampanye gelap kapitalis berbaju syariah dengan ekspektasi bisnis berorientasi hedonis dan materialis. Oleh sebab itu, perlu didesak dengan memberikan argumentasi yang kuat kepada para bankir syariah, dan shareholders – nya untuk memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab sosial bank Syariah terhadap lingkungan, masyarakat dan pemerintah.
Menggugat Peran Bank Syariah
Sebagaimana fungsi lembaga lainnya dan telah terang di muka, jika bank Syariah adalah lembaga intermediary. Maka sudah saatnya bank Syariah tidak sekedar mengumpulkan pundi-pundi kekayaan shareholders dan management semata. Namun, sudah selayaknya memikirkan kesejahteraan para stakeholders, peduli lingkungan dan peka terhadap kondisi para mustahik yang kian bertambah jumlahnya. Dengan cara memperbesar ruang kepedulian perbankan Syariah terhadap isu-isu kemanusiaan, kemiskinan dan pendidikan.
Sebab, sebagaimana kita ketahui angka kemiskinan masih begitu tinggi, dalam laporan BPS, penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta (13,33%) mengalamai penurunan sebesar 1,51 juta dari 2009 yang memiliki jumlah kemiskinan sebesar 32,53 juta orang atau (14,15%). Bahkan jika penurunan jumlah kemiskinan pada tahun 2010 dibandingkan dengan 1996 yang berjumlah 34,01 juta (17,74%) di saat sebelum krisis terjadi,, maka penurunan jumlah kemiskinannya hanya sebesar 2,99 juta (4,41%). Ini menunjukkan bahwa, secara absolut tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat besar dan upaya mengatasinya berjalan lambat.
Oleh karena itu dibutuhkan semua elemen bangsa termasuk di dalamnya perusahaan berbasis perbankan syariah untuk turut serta melibatkan diri dengan berperan terhadap pembangunan ekonomi, kemanusiaan dan kesejahteraan dengan memberikan perhatian lebih terhadap kaum marginal (mustadh”afin) secara ekonomi.
Tuntutan besar terhadap bank Syariah sangat beralasan jika kita mengacu kepada peraturan pemerintah mengenai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan masyarakat seperti tertera pada UU Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas pasal 74 ayat 1, 2, 3, dan 4, mengenai peraturan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Selain itu, dimensi at-tauhid (habluminallah) dan society (habluminannas) menjadi sandaran utama keberadaan bank Syariah yang menjadikannya berbeda dengan bank konvensional. Artinya, spirit bank Syariah adalah lembaga keuangan yang ingin tumbuh bersama dengan kaum marginal (mustadh”afin) dan berorientasi kesejahteraan bersama (welfare state) dalam bingkai ketuhanan (teologis), persamaan (equal), keadilan (fairness), dan persaudaraan (partenership).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: