Mengkonstruksi Ulang Universitas Jambi

Mengkonstruksi Ulang Universitas Jambi

Oleh: Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc., Ph.D

Dengan diterbitkan perluasan mandat No:85/E.E2/DT/2014 tanggal 28 Januari 2014 oleh Kemendikbud untuk menyelenggarakan 23 program studi baru pada jenjang S-1, S-2 dan S-3 di Universitas Jambi (UNJA) menuai pro dan kontra dikalangan akademikus. Beban berat termasuk pembiayaan, penyiapan SDM dan infrastruktur untuk UNJA dalam menyelenggarakan program studi itu masalah utamanya. Konsekwensinya beban berat untuk UNJA semakin tidak dapat dihindari.

Sebelum diterbitkan mandat pertama No: 1598/E/T/2012 tanggal 28 Desember 2012 dan perluasan mandat (mandat kedua) kondisi UNJA memang jauh tertinggal dibandingkan dengan PTN lain di Sumatera bila dicermati pilihan program studi yang tersedia. Dalam konteks kualitas maupun kuantitas belumlah memadai. Ironisnya kinerja UNJA yang dicapai belum sebanding dengan umur yang dimiliki serta capaian akreditasi yang dimilikinya. Ini menunjukkan bahwa kinerja UNJA masih belum baik dan dalam katagori Universitas tertinggal dalam konteks perluasan akses pendidikan tinggi.

Sebagain pendapat yang muncul dikalangan akademikus didorong oleh  keinginan yang kuat agar terjadinya perubahan secara mendasar di UNJA. Kerangka kerja dalam jangka panjang untuk menyongsong generasi emas tahun 2045 membutuhkan persiapan yang matang dan langkah sistematis. Tumbuhnya kesadaran yang tinggi pada generasi sekarang untuk merintis dan menumbuhkan program studi baru merupakan suatu keharusan. Gagasan agar terjadinya lompatan-lompatan diluar batas normatif tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu sudah wajib dijalankan.

Kedua, dalam cetak biru master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) koredor ekonomi Sumatera bahwa Jambi merupakan tumpuan nasional sebagai pusat lumbung energi. Pemetaan energi nasional hingga tahun 2050 mengisyaratkan Jambi untuk bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Pentingnya ketersediaan energi yang terbrukan maupun tidak terbarukan hendaknya sudah dihitung secara matang. Penggalian potensi ketersediaan sumber daya alam baik bersifat tambang dan non tambang serta pengembangan agroindustri yang berwawasan lingkungan membutuhkan pemikiran bersama.

Untuk itulah, penyiapan sumberdaya lokal yang bersumber dari program studi strategis yakni bidang ilmu dasar dan keteknikan sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itulah juga sebagai dasar pemikiran mengapa program studi strategis itu wajib tersedia di UNJA. Mengurangi kesenjangan pendidikan, perluasan akses pendidikan tinggi dan kemandirian daerah sudah menjadi cita-cita bersama bagi masyarakat Jambi. Adanya kebanggaan tersendiri bila tumbuh suatu kesadaran bagi masyarakat kita untuk membangun Jambi yang pelakunya adalah putra-putri terbaik Jambi.

 

Ketiga, adanya desakan eksternal yakni perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan menuntut ketersediaan tenaga professional yang mampu menciptakan dan memanfaaatkan iPTEK untuk kepentingan ekonomi merupakan peluang sekaligus ancaman bagi keberadaan UNJA. Fenomena ini merupakan tantangan bagi UNJA untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan dunia kerja.

Keempat, kondisi psikososioekonomi masyarakat Jambi saat ini dipandang belum kondusif bagi upaya pengembangan pendidikan tinggi unggul yang berbiaya tinggi. Disamping belum memiliki budaya unggul dan kompetitif yang mengarah kepada peningkatan aksesibilitas pendidikan tinggi.

Keadaan serba kekurangan

Sebagian yang kurang sependapat adalah berbagai persoalan baru akan muncul dan sekaligus beban berat yang harus ditanggung oleh UNJA sudah di depan mata. Beban itu akan menambah peliknya persoalan yang selama ini baik itu disadari maupun tidak disadari oleh warga UNJA.

Misalnya, mencari dosen-dosen yang berkualitas sesuai yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang menjadi tantangan tersendiri buat UNJA. Dosen bidang sain dan teknik sangat sulit mencarinya. Pada tahun 2013 lalu telah disediakan formasi PNS untuk program studi Teknik Pertambangan dan Teknik Geologi tidak ada yang melamar. Hingga kini formasi itu masih kosong. Minimnya para lulusan kedua program studi itu untuk menjadi dosen merupakan contoh nyata bahwa mencari dosen yang ditempatkan pada program studi strategis bukanlah perkara mudah.

Selanjutnya, peyiapan infrastruktur dan pengembangan sistem informasi manajemen (SIM) yang masih minim terkesan pemaksaan. Investasi untuk memenuhi standar SIM perguruan tinggi cukup tinggi. Kondisi ini diperparah oleh peyediaannya membutuhkan biaya yang sangat mahal. Dalam waktu singkat sangat tidak mungkin dilakukan. Padahal, perkulihan bagi mahasiswa tidak dapat ditunda lagi.

Disamping itu, keragu-raguan dalam aspek pelayanan yang terstandarisasi juga menjadi kendala utama. Sangat tidak mungkin penyelenggaraan program studi baru dituntut untuk terakreditasi baik. Tentu, semua itu membutuhkan proses dan tindakan secara terencana dan berkesinambungan. Upaya-upaya itulah merupakan tantangan bagi para pengelola dan pemangku kebijakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: