Biaya Politik Tinggi dan Prospek Kemajuan Bangsa

Biaya Politik Tinggi dan Prospek Kemajuan Bangsa

Oleh : Ansorullah, S.H., M.H.

Pemilu Legislatif sudah semakin dekat, yakni tanggal 9 April 2014. Suatu pertanyaan yang selalu muncul setiap kali kita melaksanakan Pemilu apakah itu Pemilu Presiden, Pemilu Kepala Daerah, dan Pemilu Legislatif, adalah seberapa jauh pelaksanaan peraturan perundang-undangan pemilu dapat diterapkan dengan baik.  Dengan kata lain adalah apakah asas langsung, umum, bebas  dan Rahasia serta jujur dan adil dapat kita terapkan dalam kehidupan berpolitik tersebut.

Menyimak beberapa perkembangan terkini pelaksanaan Pemilu legislatif salah satu masalah klasik yang selalu muncul adalah tingginya biaya politik.  Peraturan perundangan pemilu termasuk peraturan KPU telah berupaya meminimalisir ongkos politik terutama antara lain, dengan mengurangi intensitas kampanye rapat umum/akbar, penentuan dan pembatasan wilayah pemasangan atribut kampanye, memperpanjang rentang masa kampanye yakni sejak terdaftar sebagai calon legislatif dalam rangka memberi peluang kepada para calon legislative melakukan kampanye dalam bentuk yang lebih sederhana dan murah.  Akan tetapi fakta masih menunjukkan bahwa ongkos politik tetap tinggi, berdasarkan penelitian yang baru dilakukan oleh LPEM Univeristas Indonesia Teguh Dartanto ditemukan tiga katagori besaran biaya politik caleg DPR RI, RP. 787 Juta s.d. RP. 1.18 milyar termasuk katagori ideal. Katagori wajar diatas Rp. 1,18 Milyar hingga 4,6 milyar. Sedang biaya politik yang lebih dari katagori wajar adalah di luar kewajaran, artinya tidak seimbang lagi dengan penghasilan formal ketika yang bersangkutan terpilih menjadi legislator.  Penelitian ini juga menemukan terjadi peningkatan biaya politik pencalegan sebesar 400 % di bandingkan tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa rekaya efisiensi biaya politik yang diharapkan oleh UU 8 tahun 2012 dan berbagai Peraturan KPU tidak mencapai sasaran.

Penelitian yang dilakukan oleh LPEM UI baru sebatas menyingkap pengeluaran formal Caleg, belum mengungkapkan kemungkinan biaya siluman seperti penempatan relawan di luar TPS/ permainan money politik. Banyak terjadi caleg yang lebih sedikit mengeluarkan biaya kampanye tapi memperbesar biaya siluman lebih mempunyai hasil konkrit. Bayangkan andaikata satu suara dihargai Rp. 100.000., maka untuk 1000 suara sang caleg akan mengeluarkan Rp. 100.000.000. Jika 5000 suara berarti Rp 500.000.000. bagaimana dengan 10.000., 20.000. suara dan seterusnya, untuk caleg level DPR RI misalnya. Biaya siluman lain yang berkemungkinan akan dikeluarkan adalah transaksi suara melalui penyelenggara Pemilu yang nakal. Jadi jika jika dihitung secara keseluruhan biaya politik caleg yang dipaparkan oleh LPEM UI dapat saja lebih besar lagi.

Ongkos politik yang besar ini, tidak sebanding lagi dengan penghasil formal seorang legislator terpilih, sehingga untuk menutupi ketidaksebandingan itu, para legislator akan bergerak mencari penghasil non formal dengan memanfaatkan kewenangan yang sangat kuat saat ini, melalui berbagai upaya yang seringkali melindas atau menabrak legalitas hukum, mengintervensi pihak pemerintah (baik Pusat maupun  Daerah) bahkan sampai menggangu system ketatanegaraan baik Pusat maupun Daerah.   Maka tidak heran penelitian Pukat UGM mengemukakan lebih kurang 90 % Caleg DPR RI Incumbent bermasalah secara hukum (terindikasi korupsi).

Ongkos politik yang tinggi ini telah memberi peluang yang lebih besar kepada caleg-caleg yang berkapital untuk menjadi legislator, tapi kualitas kelegislatorannya sangat dipertanyakan dan hampir dapat dipastikan menutup peluang orang-orang yang lebih berkualitas lebih berintegritas tetapi berkapital lemah untuk menjadi legislator. Apabila ini terjadi, maka tanpa disadari model perwakilan di parlemen telah mirip seperti House of Lord di Inggris yang berisi para bangsawan/pemilik modal kuat yang memang berjuang untuk membela kepentingan bangsawan. Tetapi di Inggris masih ada lembaga perwakilan lain yakni House of Commond yang mewakili rakyat di luar perwakilan kaum bangsawan.

Ongkos politik yang sangat mahal, akan  mengakibatkan fungsi control legislator terpilih akan semakin melembut dan tidak menutup kemungkinan beralih menjadi fungsi fressure guna menggiring negoisiasi menuju transaksi finasial, dalam rangka menutupi ketidaksebandingan antara penghasilan formal dengan ongkos politik. Sasaran negoisasi bisa saja meliputi antara lain : pembentukan perundang-undangan terutama yang mengatur sumber keuangan baik langsung maupun tidak langsung, usaha-usaha komersial, export, import, sumber kekuasaan kelembagaan negara  dan daerah. Apabila ini terjadi secara terstruktur dan masif. Kita akan sulit membayangkan masa depan  Indonesia, akan semakin berbelok arah dari tujuan semula yang antara lain memajukan kesejahteraan umum, berbalik arah menjadi memajukan kesejahteraan sebagian kecil warga negara. Bahkan pada saat ini gejala  yang terlihat investasi asing dalam bidang perkebunan, pertambangan, telekomunikasi, industry otomotif dan industry lainnya termasuk industry perbankan semakin subur dan mendominasi sektor perekonomian Indonesia. Rupiah setiap tahun melemah dan sulit sekali bangkit dalam posisi semula. Sementara kita sibuk dengan efouria demokrasi politik ketimbang menerapkan secara seimbang dengan demokrasi ekonomi sebagaimana yang diharapkan oleh Mohd. Hatta. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, telah semakin banyak dikuasai asing yang sudah jelas bukan untuk kemakmuran rakyat.  Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dikuasai oleh Negara. Dan ini berkaitan erat dengan ketentuan ayat (3) tersebut.

Harapan satu-satunya  sebagai filter terakhir dalam upaya mendapat   caleg ideal, berada pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan politik. Apabila rakyat sebagai pemilih juga ikut serta menyalahgunakan kedaulatan politik yang ada padanya dengan melakukan pembarteran (money politik), berarti rakyat (pemilih) juga berkontribusi dan mendorong kearah terpilihnya legislator berkapital kuat yang justru pada gilirannya akan merugikan rakyat sendiri. Rakyat tidak bisa menyalahkan para legislator terpilih di kemudian hari, karena itu adalah pilihan mereka. Rakyat tidak bisa menuntut banyak agar para legislator terpilih memperjuangkan nasibnya, karena rakyat telah mengambil imbalan sejak awal.

(Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi)                                                                                                 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: