Benda-Benda Bersejarah Jadi Besi Rongsokan yang Murah

 Benda-Benda Bersejarah Jadi Besi Rongsokan yang Murah

 Rongsokan bersejarah itu dibiarkan tergeletak di beberapa sudut pekarangan rumah Yusuf. Tapi, ada beberapa lainnya yang disimpan di ruang tamu rumahnya. Ruangan yang tak begitu luas tersebut juga difungsikan sebagai kantor sekaligus tempat menerima tamu yang berkunjung.

 Sementara itu, Gua Binsari berada sekitar 200 meter dari rumah Yusuf. Di sekitar mulut gua terdapat lubang-lubang besar yang konon bekas bom yang dijatuhkan tentara sekutu saat mengejar tentara Jepang.

 Dari mulut gua pengunjung harus menuruni anak tangga untuk masuk ke dalam gua. Saya jadi teringat saat mengunjungi Gua Jiuxiang, Tiongkok. Sepintas Gua Binsari mirip dengan salah satu objek wisata terkenal di Kunming itu.

 Hanya, pengelola Gua Jiuxiang pandai menjual objek wisata alam tersebut. Agar menarik, pengunjung disuguhi gemerlap lampu warna-warni yang berpadu dengan gemericik air dari stalaktit. Sedangkan di Gua Binsari pengunjung hanya diterangi cahaya yang masuk lewat mulut gua. Gua itu juga dibiarkan apa adanya. Tidak ada yang dipoles, dirapikan, atau diberi hiasan agar menarik perhatian.

 Wajar gua tersebut jadi gelap dan sunyi karena tidak ada aktivitas di dalamnya. \"Dulu barang-barang yang ada di pekarangan rumah saya itu banyak yang saya ambil dari dalam gua ini,\" ujar Yusuf.

 Pemandangan di dalam gua sebenarnya sangat indah. Apalagi kalau pas sinar matahari masuk melalui mulut gua. Menurut Yusuf, semula mulut gua tersebut kecil. Namun, setelah gua dibombardir pasukan sekutu, lubangnya jadi besar seperti sekarang. Dalam serangan bom itu, banyak tentara Jepang yang tewas saat berusaha bersembunyi di gua tersebut. 

 Menurut guru sejarah SMAN 2 Biak Manase Simbiak, sekutu dulu sempat kewalahan saat berupaya menguasai daratan Biak. Sebab, mereka sering mendapat serangan tak terduga oleh tentara Jepang yang bersembunyi di gua-gua. Sekutu akhirnya mengubah strategi perangnya dengan melancarkan serangan udara untuk menghancurkan gua-gua yang dijadikan tempat berlindung tentara Jepang.

 \"Ada yang disiram bahan bakar dulu, lalu dibom dari pesawat. Atau langsung dijatuhi bom,\" terang Simbiak sembari menikmati segelas kopi di kedai dekat pasar lama Biak Kota. Dalam serangan besar-besaran itu, sekitar 3.000 tentara Jepang yang berada di gua-gua tewas. Paling banyak di Gua Binsari.

 Saya datang ke gua tersebut saat weekday. Tak terlihat wisatawan yang datang, kecuali beberapa orang yang sedang melakukan pemotretan pre wedding dengan mengambil latar Gua Jepang itu.  Fotografer yang menyapa saya ternyata berasal dari Surabaya.

 Setelah puas menelusuri Gua Binsari, saya mendatangi monumen PD II di Desa Paray, Distrik Biak Kota. Dibutuhkan waktu sepuluh menit dari Gua Binsari ke tujuan. Monumen itu dibangun atas kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang pada 1996. Di monumen itu terdapat bangunan cungkup setengah lingkaran yang menyerupai gua. Fungsinya hanya untuk tempat duduk. Pengunjung bisa santai di kursi-kursi dari beton tersebut untuk menyaksikan pemandangan Pantai Bosnik yang tak jauh dari situ. Ada prasasti di monumen itu dengan tulisan tiga bahasa: Indonesia, Jepang, dan Inggris.

 Di balik prasasti ada bangunan seperti lorong dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Bangunan tersebut berfungsi untuk menyimpan tulang belulang yang ditemukan warga dari hutan-hutan di Biak. \"Tulang-tulang yang diduga milik tentara Jepang itu nanti diambil pihak Kedutaan Besar Jepang di Indonesia untuk diserahkan ke keluarganya di Jepang,\" ujar Ariyati Subagyo, istri penjaga museum, Kostan Koibur. Keluarga Kostan yang selama ini menjaga monumen tersebut serta mengumpulkan tulang belulang tentara Jepang yang berserakan di dalam gua atau di hutan-hutan.

 Tulang-tulang yang belum diambil akan disimpan di bilik-bilik di museum itu. Di sekitar bilik ditempelkan foto-foto tentara Jepang yang dibawa keluarganya dari kampung halaman. Menurut Ariyati, foto-foto tersebut ditempelkan untuk menandai bahwa di antara ribuan tentara Jepang yang gugur dalam perang melawan sekutu, terdapat orang-orang di foto-foto itu.

 Dari monumen PD II yang berada di pinggir pantai, pengunjung bisa menyeberang menuju Pulau Owi. Pulau itulah yang menjadi markas Jenderal MacArthur dalam menjalankan misinya merebut Biak dari Jepang. Di Pulau Owi itu juga MacArthur membangun tiga landasan pacu seperti di Morotai.

 Seperti halnya di Morotai, banyak peninggalan perang yang ditemukan warga dan dijual ke penadah. Selama ini tak ada yang melarang praktik seperti itu. Yusuf mengatakan, hal tersebut terjadi karena warga juga perlu uang untuk kebutuhan hidup. \"Mereka kan butuh makan,\" ucap dia.

 Yusuf tahu sebenarnya pemerintah sudah melindungi raibnya benda-benda sejarah itu dengan Undang-Undang Cagar Budaya. Tapi, ketentuan tersebut tak pernah tersosialisasikan dengan baik. Apalagi, besi-besi tua itu tetap dihargai meski murah. \"Besi-besi tua itu dibawa ke Surabaya. Saya tidak tahu mau dijadikan apa di sana,\" paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: