Digoyang Gelombang, Opor Tumpah, Makan Malam pun Tertunda

 Digoyang Gelombang, Opor Tumpah, Makan Malam pun Tertunda

Kamis (20/3) pukul 05.00 Waktu Indonesia Timur, suasana di kapal motor (KM) Gurano Bintang (GB) sudah ramai. Seluruh penumpang sudah bangun. Malam pertama menginap di kapal GB sudah terlewati. Kami, penumpang perempuan yang berjumlah tujuh orang, tidur di dek bawah. Agak pengap dan panas karena ventilasinya kecil. Karena itu, kami harus menghidupkan kipas angin plus pendingin ruangan portabel.

 Pukul 06.00, tim pemantau hiu paus dijadwalkan berangkat ke lokasi sasaran. Maka, begitu bangun tidur, para ABK (anak buah kapal) sudah sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Misalnya, Kapten Kapal Bardin Tandiono meminta koki Ruswanto menyiapkan sarapan pada pukul 05.30. Koki Anto \"panggilan Ruswanto\" pun mulai memasak pukul 03.00. Sementara itu, kru lainnya menyiapkan speedboat untuk menjemput tim tenaga pemantau hiu paus (TPHP) di Kampung Kwatisore.

 Saya sebenarnya tidak terbiasa sarapan pagi. Tapi, karena kegiatan berlangsung sampai siang, saya harus mengisi perut. Sambil makan, saya menikmati udara segar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC). Kualitas udaranya berbeda jauh dengan udara Jakarta. Sangat segar. Pemandangannya juga indah. Laut biru dan bukit hijau dihiasi matahari terbit. Sempurna.

 Pemandangan seperti itu sangat cocok untuk menyegarkan pikiran yang penat dengan rutinitas pekerjaan di kota. Apalagi di kawasan itu tidak ada sinyal untuk ponsel. Tidak ada bunyi notifikasi BBM atau WhatsApp atau telepon yang selama ini cukup menyibukkan.

 Pukul 06.00 tepat, tim pemantau hiu paus berangkat dengan speedboat. Kami kemudian menjelajahi wilayah yang selama ini menjadi habitat ikan raksasa itu. Baru setelah matahari di ubun-ubun, kami kembali ke kapal GB. Tapi, kali ini posisi kapal sudah berpindah tempat. Bukan di Kampung Kwatisore lagi, melainkan di Kampung Yaor. Jarak dari Kwatisore ke Yaor sekitar 3 jam pelayaran.

 Sampai di kapal GB, sebagian kru yang tertinggal sedang ke darat. Mereka mendatangi anak-anak SD di sana. Mengajarkan konservasi lingkungan dan pentingnya kesehatan. Tiba-tiba, radio frekuensi di ruang kemudi berbunyi: \"Gurano monitor, gurano monitor\"\" Itu suara Yuni, salah seorang tim fasilitator WWF (World Wildlife Fund) Indonesia. Dia meminta kru segera mengantarkan bubur kacang hijau yang sudah matang ke lokasi penyuluhan. Sekaligus meminta kru bersiap-siap. Sebab, sebentar lagi anak-anak SD berkunjung ke kapal.

 Hery dan Tasmin, kru ABK, langsung menyiapkan speedboat untuk mengantar kacang hijau ke darat. Bagi anak-anak, didatangi atau mendatangi kapal GB seperti tamasya. Mereka sangat senang bisa melihat pemandangan dan suasana yang baru. Apalagi mereka mendapat oleh-oleh makanan dan alat tulis, boneka, serta suvenir lainnya.

 Sejam kemudian, terdengar suara anak-anak menyanyi riang dari kejauhan. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Anak-anak kelas 4\"6 yang berjumlah 40 orang itu lalu berbaris di pinggir dermaga, menanti speedboat menjemput menuju kapal GB yang sandar tak jauh dari dermaga.

 Lantaran jumlahnya banyak, speedboat harus empat kali bolak-balik antar-jemput anak-anak itu. Tapi, baru dua kali speedboat bekerja, hujan turun. Meski begitu, anak-anak tetap sabar menunggu. Demi pengetahuan baru yang akan didapat, mereka seperti tidak peduli kehujanan.

 Ternyata yang datang bukan hanya anak-anak dan guru. Ada juga warga kampung. Mereka membawa dua tas plastik besar berisi pisang dan buah langsat. Itu oleh-oleh dari mereka buat kami. Di Yaor sedang musim buah langsat, sejenis duku tapi rasanya lebih asam. Oleh-oleh tersebut juga menjadi tanda terima kasih.

 Setelah semua berkumpul di kapal GB, anak-anak diminta duduk mengelilingi ruang serbaguna. Mereka diajak menyaksikan film animasi tentang biota laut melalui DVD. \"Kalian harus nonton dengan cermat. Setelah ini ada pertanyaan untuk kalian,\" kata Yero, staf WWF yang asli Papua.

 Anak-anak juga diajari bernyanyi. Lirik lagu yang diajarkan ternyata ada di papan tulis. Berbahasa Spanyol dan Indonesia: Le mar estaba serena, serena estaba le mar. Laut itu sungguh tenang, tenang sungguh laut itu.

 Kegiatan tim WWF setiap berkunjung ke kampung-kampung memang selalu melibatkan anak-anak. Menghibur mereka, mengajak anak-anak berkeliling kapal, dan berkenalan dengan kru kapal GB. Sayang, siang itu hujan semakin deras. Terpal di samping kanan dan kiri kapal terpaksa diturunkan karena air hujan mulai masuk ke dalam kapal. Anak-anak yang duduk di tepi semakin merapat satu sama lain. Air hujan mulai mengenai baju mereka.

 Tapi, sekali lagi, mereka tidak merasa risi atau tidak nyaman. Mereka malah semakin keras menyanyi. Sambil tepuk tangan. Sampai hujan reda. Tapi, sampai sore hujan tak juga reda. Maka, mau tidak mau, speedboat mesti menerjang hujan untuk mengantar anak-anak ke kampungnya, Yoar. Anak-anak melambaikan tangan setibaya di dermaga. Mereka mengiringi kapal GB kembali ke Kwatisore. Menanti Gurano Bintang mengunjungi kampung mereka lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: