Minum Spirulina Mahmud dan Menunggu Sidiq
DUA anak muda ini gigihnya bukan main. Mahmud dan Sidiq. Mahmud baru lulus dari Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan Sidiq masih kuliah di Teknik Mesin Universitas Brawijaya Malang.
Dua bulan lalu, ketika saya bermalam di satu desa di pinggir hutan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah, Mahmud nguber saya sampai ke desa itu. Senja amat mendung. Hujan renyai-renyai tidak kunjung berhenti. Di suasana senja yang dingin itu, Mahmud menyusul saya ke masjid desa.
Meski langit sudah gelap, saat magrib ternyata masih lama. Mahmud membuka laptopnya. Dengan berapi-api dia mendesak saya. \"Pemerintah harus turun tangan. Jangan mengabaikan penemuan saya ini,\" katanya.
Saya dengarkan terus penjelasannya yang bertubi-tubi itu. Ditonton orang-orang desa yang siap-siap berjamaah Magrib. Di mata yang mendengarkan penjelasan itu, pemerintah terkesan jelek sekali. Tidak membantu dan mengakomodasi penemuan seperti ini.
\"Ini sangat menguntungkan, Pak Dahlan,\" ujarnya. \"Ayo, BUMN bantu dengan CSR-nya,\" tambah dia.
Rupanya, Mahmud baru menemukan rumus mengembangkan alga (algae) air tawar. Itulah produk yang disebut spirulina. Selama ini memang sudah banyak beredar di pasar produk spirulina. Tapi spirulina hasil dari alga air asin (air laut).
Produk ini terkenal terutama karena agresifnya sistem pemasaran multilevel marketing (MLM). Mahal tapi laris. Khasiat spirulina yang tinggi membuat impor spirulina luar biasa besarnya.
\"Saya berhasil mengembangkan algae air tawar,\" katanya. \"Dengan demikian, spirulina dari algae yang saya kembangkan ini bebas logam berat, arsen, dan tidak bau amis,\" tambahnya. \"Ini pertama di Indonesia,\" kata Mahmud bersemangat.
Di dalam masjid di desa pinggir hutan itu, sambil menunggu datangnya magrib, Mahmud saya ajak hitung-hitungan. Saya cecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan: harga benih, modal bikin kolam, harga jual, tingkat persaingan, risiko gagal, dan seterusnya.
Mahmud bisa menjawab dengan tangkas. Akhirnya saya berkesimpulan: penemuan ini memang sangat baik. Juga sangat menguntungkan. Satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp 300 juta. Bandingkan dengan tanam padi yang menghasilkan sekitar Rp 50 juta.
\"Kalau begitu, berhentilah Anda menyalah-nyalahkan pemerintah,\" kata saya. \"Berhentilah berpikir ngemis-ngemis cari bantuan,\" kata saya lagi.
\"Ini bisnis yang bagus. Lakukan sendiri. Jangan cengeng. Kalau Anda minta pemerintah ikut campur, bisa-bisa tambah ruwet,\" tegas saya.
Alhamdulillah. Mahmud bisa menerima penjelasan saya. Dia tidak akan menyalah-nyalahkan orang. Juga tidak akan mengemis-ngemis. Dia akan terjun ke bisnis dengan basis penemuannya itu. \"Go!\" kata saya dengan bangga kepada anak muda ini. Saya pun berjanji mengunjunginya kalau dia sudah menjalankan bisnisnya itu.
Minggu lalu saya memenuhi janji itu. Saya ke desanya, Tawangsari, Sukoharjo, di selatan Solo. Tanpa memberi tahu lebih dulu. Matahari bersinar terik. Saya lewati pabrik tekstil terkenal itu: Sritex. Masih terus ke selatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: