>

Kartini, Gender dan Pembangunan

Kartini, Gender dan Pembangunan

Mengapa keadilan gender? Karena ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat tentu membuat tujuan pembangunan bagi kepentingan seluruh warga tidak akan kian sulit tercapai dan di sisi lain ketidakdilan gender membawa berbagai implikasi yang pada akhirnya meminggirkan kaum perempuan. Pertama, pelabelan negatif terhadap perempuan (stereotyping).Karena terbentuk secara sosio kultural, banyak pelabelan negatif terhadap kaum perempuan yang menjadi barrier tersendiri bagi kaum perempuan. Misalnya saja jika seorang perempuan pulang bekerja hingga larut malam mungkin akan dianggap sebagai perempuan yang kurang punya tata krama berbeda dengan laki – laki barangkali mungkin dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab karena bekerja keras bagi keluarga.

 

Kedua, peminggiran (marginalisasi).Akibat adanya pelabelan negatif terhadap perempuan implikasinya perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan dalam berbagai hal sehingga mengalami peminggiran.Misalnya saja perempuan dianggap sebagai sosok yang penuh intuisi dan perasaan dakan bertindak sehingga tidak jarang tidak mendapat kepercayaan untuk memerankan suatu posisi penting baik di masyarakat, pemerintahan maupun perusahaan.Sebagai suatu bahan refeleksi, mungkin kita dapat melihat di sekeliling kita sudahkan kaum perempuan mendapat kepercayaan untuk mengambil posisi penting?

 

Ketiga, penomorduaanyang merupakan dampak yang paling nyata dari ketimpangan gender.Kaum perempuan kurang mendapatkan prioritas dibandingkan laki – laki.Pada era Kartini atau bahkan mungkin masih dapat kita jumpai saat ini di tidak sedikit kalangan berpendapat bahwa anak perempuan tidak perlu melanjutkan ke pendidikan tinggikarena kelak dia hanya menjadi pendamping suami atau ibu rumah tangga.Anak laki – laki umumnya mendapat prioritas utama.Hal ini dapat terlihat dari jumlah anak laki – laki yang  meneruskan pendidikan dari SLTP ke SLTA sebesar 73 persen, sementara anak perempuan hanya 69 persen. Data lain yang merefleksikan hal ini jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,5 juta orang, sementara laki-laki 3,5 juta orang (Republika, 2010).

 

Terakhir adalah beban ganda. Kaum perempuan karena ketimpangan gender bertanggung jawab atas setumpuk pekerjaan rumah tangga dan inilah yang disebut beban ganda. Beban ganda ini bahkan kian berat ketika seorang perempuan juga harus menopang pendapatan keluarga.

 

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengadopsi strategi Pengarusutamaan Gender melalui Inpres No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Namun demikian implementasinya di berbagai level tentulah masih membutuhkan upaya bersama untuk terus ditingkatkan mengingat ketidakadilan gender adalah masalah social kultural yang telah beruratakar dalam sejarah masyarakat. Di titik inilah kita masih tetap memerlukan putra putri terbaik Indonesia yang berpikiran seperti Kartini yang pernah menulis suratnya kepada Nyonya Abendanon:

 

“Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri.Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih suka dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula.”

 

 

(Pengamat pembangunan sosial, alumnus program Pasca Sarjana Universitas Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: