>

Gas Bumi: Pasar Domestik vs Pasar Ekspor

Gas Bumi: Pasar Domestik vs Pasar Ekspor

Alokasi gas untuk domestik versus ekspor selalu menjadi topik perdebatan. Saat permintaan gas naik, sebagian pihak meminta ekspor gas dihentikan. Apakah realistis untuk dilakukan?

--

Pemanfaatan gas bumi lebih kompleks dibandingkan dengan minyak bumi. Gas tidak bisa ditampung, sehingga harus langsung dimanfaatkan saat keluar dari dalam bumi. Dengan karakteristik seperti ini, pengembangan lapangan gas baru dapat dilaksanakan setelah pembeli didapatkan dan infrastruktur tersedia.

 

Indonesia memulai ekspor gas pada tahun 1977 yaitu ekspor gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dari Kilang Badak di Bontang, Kalimantan Timur. Setahun kemudian, Indonesia kembali memulai ekspor LNG dari Kilang Arun di Aceh. Saat itu konsumsi gas domestik  masih sangat rendah sementara di sisi lain, negara  sangat membutuhkan devisa untuk pemulihan ekonomi. Akhirnya, gas bumi Indonesia diolah menjadi LNG untuk kemudian di ekspor ke pasar internasional. Karena sifat dari gas bumi yang tidak bisa disimpan seperti minyak bumi, maka dibutuhkan kontrak jual-beli jangka panjang.  Hal ini untuk memberikan kepastian  penjualan dari sisi produsen dan kepastian pasokan dari sisi pembeli.  Kontrak  jual-beli dalam  jangka panjang inilah yang masih berlaku sampai saat ini.

 

Kontrak-kontrak yang masih berjalan hingga saat ini adalah kontrak lama yang ditandatangani saat  gas masih kurang diminati oleh pembeli domestik. Bahkan saat kontrak ekspor LNG dari Kilang LNG Tangguh di Papua ditandatangani tahun 2002, permintaan gas domestik belum setinggi saat ini. Karena pasar domestik tidak mampu menyerap, maka sepertigabagian LNG dari Tangguh diekspor ke Tiongkok. Sisanya lagi diekspor ke berbagai negara untuk menghasilkan penerimaan negara.

 

Konsumsi gas dalam negeri sendiri mulai naik  tajam tahun 2005. Pada saat itu pemanfaatan gas untuk dalam negeri mencapai 1.513 billion British thermal unit per day (BBTUD) dan terus meningkat sampai mencapai 3,550 BBTUD di tahun 2012. Perbandingan realisasi pemanfaatan gas bumi untuk konsumen dalam negeri pada tahun 2012 sudah mendekati angka 50 persen dari total pemanfaatan gas bumi.

 

Naiknya pasokan gas untuk pasar domestik tersebut mencerminkan bahwa industri hulu migas tidak melulu mengutamakan ekspor. Pasokan domestik pun tetap diperhatikan bahkan terus ditambah. Hanya saja, kontrak ekspor tidak bisa serta merta dialihkan ke pasar dalam negeri karena berlaku untuk jangka panjang. Ekspor ini pun masih diperlukan mengingat penerimaan negara masih tergantung pada migas dan harga rata-rata gas ekspor hampir dua kali lipat dari harga domestik.

 

Selain itu, terbatasnya infrastruktur juga menjadi penghambat pemanfaatan gas domestik. Saat ini Indonesia baru memiliki satu terminal penerima LNG yang berlokasi di Teluk Jakarta. Tanpa adanya fasilitas tambahan, mustahil gas dari Papua akan bisa dikonsumsi oleh industri di Jawa dan Sumatera.Tidak hanya itu, saat ini, jaringan pipa distribusi gas masih minim. Contoh konkret, kelebihan produksi gas di Jawa Timur tidak dapat dikirimkan ke Jawa Barat yang kebutuhan gasnya tinggi karena belum ada jaringan pipa yang menghubungkan kedua wilayah ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: