Perjuangan Kaum Mama Lestarikan Kain Tenun Ikat Lamalera
Warisi Nenek Moyang, Motif Ikan Paus Jadi Primadona
Tenun ikat Lamalera, Nusa Tenggara Timur (NTT), memang terkenal eksotis. Karena itu, tak heran bila hasil kerajinan tangan para mama (sebutan kaum perempuan) di desa tersebut sampai dihargai jutaan rupiah. Wartawan Jawa Pos TRI MUJOKO BAYUAJI yang pekan lalu ke NTT menyempatkan untuk mengunjungi para perajin tenun tradisional itu.
Jumat (2/5) siang itu suasana di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lambeta, NTT, tampak sepi. Bagaikan tidak ada aktivitas penduduk. Maklum, saat siang, desa di bibir pantai tersebut ditinggalkan warga laki-lakinya melaut. Hampir tidak ada laki-laki di desa itu yang tinggal di rumah.
Begitu pula para mama, mereka punya kesibukan sendiri. Kebanyakan perempuan di desa berpenduduk sekitar 2.000 orang itu menjadi perajin tenun ikat. Sejak pagi hingga sore, mereka suntuk di depan alat tenun masing-masing. Kalau sudah tenggelam dengan benang-benang tenun, mereka sampai tidak bisa diganggu. Sementara itu, anak-anak mereka pergi ke sekolah atau bermain di laut.
\"Ya, beginilah pekerjaan para mama di sini. Mulai pagi sampai sore duduk begini. Tapi, kalau rematik kambuh, saya harus istirahat,\" ujar Agnes Beto Bataona, salah seorang warga Lamalera, saat ditemui Jawa Pos di rumahnya siang itu.
Dengan menggunakan selaga, Agnes tampak tekun mengikat lembar demi lembar kain pesanan saudaranya di Wulandoni. Sesekali Agnes mengunyah sirih yang sudah disiapkan di samping alat tenun. Selaga adalah alat khusus untuk membuat motif tenun ikat khas Lamalera. Selain selaga, para mama memegang faniduang yang dipakai untuk merapikan motif.
Terdapat pula alat-alat bantu tenun lainnya seperti tenane pola vulo gurokajo. Bagian itu merupakan alas tenun berbentuk kayu berukuran satu meter dan berfungsi untuk merangkai bentuk motif yang diinginkan. Ada juga kedaje, yaitu alat yang digunakan untuk menahan\"tenane pola vulo gurokajo, berfungsi menahan kaki. Bagian terakhir dinamai sligu, yaitu alat untuk menahan tekanan dari\"tenane pola vulo gurokajo, berfungsi menahan badan sekaligus sebagai sandaran.
Menurut Agnes, alat tenun di desanya saat ini lebih modern jika dibandingkan dengan zaman generasi sebelumnya. Pada mesin tenun era dulu, kaki-kakinya harus ditanam di tanah. Namun, alat tenun sekarang sudah portabel. Bisa dipindah ke sana-kemari.
\"Kalau dulu harus di luar (rumah) menenunnya. Kalau sekarang, bisa berpindah ke mana saja,\" katanya lantas tersenyum.
Sejak dibuat ratusan tahun silam, tenun ikat Lamalera tetap mempertahankan motif asli. Salah satu motif yang paling disukai dan eksis adalah gambar ikan paus, lengkap dengan peledang atau perahu pemburu paus dengan kombinasi motif ikan pari. Tenun ikat yang tengah dibuat Agnes ketika itu juga bermotif ikan paus tersebut. Dia belajar secara turun-temurun dari orang tuanya.
\"Sebelum kain diikat, motif harus sudah diwarnai dan diurutkan dengan motif warna yang dipilih,\" jelasnya.
Pewarnaan motif kain tenun ikat Lamalera saat ini lebih mudah. Agnes menyatakan, warna tenun bisa ditentukan dengan menggunakan tinta dari pabrik. Kalau dulu, tinta harus dibuat lebih dulu dari akar pohon clore.
\"Akar bawahnya diambil, dicincang, ditumbuk, baru direbus,\" kata Agnes.
Warna dari akar clore menjadi warna cokelat. Benang yang sudah disiapkan tinggal dicelupkan sampai berubah warna. Warna lain membutuhkan bahan lain yang juga didapat dari alam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: