>

Potensi Kerugian Negara Rp. 273 T

Potensi Kerugian Negara Rp. 273 T

 Akibat Carut Marut Perizinan Kehutanan

 JAMBI - Potensi kerugian negara akibat carut marut persoalan perizinan dalam bidang kehutanan mencapai angka fantastis, yakni Rp 273 Triliun (T). Angka ini meningkat drastis dari potensi kerugian negara akibat perizinan dalam bidang kehutanan pada 2004 yang hanya berjumlah Rp 7 M. 

Hal ini dikemukakan Wahyudi, Ketua Tim Riset dari Transparansi Internasional Indonesia soal perijinan kehutanan di Grand Hotel, kemarin.

Diterangkannya, kontribusi sektor kehutanan dalam 10 tahun terakhir terhadap PDRB Nasional turun.

\"Dari Rp. 1, 99 M pada 1999 menjadi Rp. 0, 7 M pada 2011. Sementara potensi kerugian negara yang pada 2004 hanya senilai Rp 7 M naik drastis pada 2013 mencapai Rp 273 T,\" katanya.

Dikatakannya, tingginya laju deforestasi menyebabkan turunnya sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB nasional. \"Pemanfaatan kayu yang salah, illegal logging, perambahan dan sebagainya menyebabkan hal ini. Selain itu, berdasarkan riset juga ini disebabkan buruknya tata kelola sektor kehutanan,\" katanya.

Menurutnya, tata kelola kehutanan di Indonesia pada umumnya, sangat jauh dari prinsip tata kehutanan pemerintahan yang baik. Akibatnya dari tata kelola perizinan yang baik. \"Riset kami 2009, di riau, aceh dan papua, diketahui korupsinya mulai hulu hingga hilir dalam urusan perizinan ini,\" ujarnya.

Bahkan, kata dia, ada 300 kepala Daerah, termasuk Bupati yang tersandung kasus penyalahgunaan perizinan kehutanan ini. Bahkan, ada juga bupati di pemerintahan tingkat II yang ikut bermain dalam pemberian perizinan sektor kehutanan ini.
\"Ada 300 bupati yang terlibat kasus korupsi terkait perizinan di sektor hutan. Ini jadi problem besar, karena lebih dari setengah kepala daerah bermain dalam ini,\" bebernya.

Dia menerangkan, untuk memperkecil resiko terjadinya korupsi dalam bidang perizinan, maka prosesnya harus efisien, transparan dan partisipatif. Dijelaskannya, riset yang mereka lakukan ini merupakan bagian dari upaya mengevaluasi sistim perijinan online yang dibuat kemenhut.

\"Jambi jadi contoh karena, secara reguler dalam 2 tahun diterbitkan indeks persepsi korupsi dan dibandingkan dengan tingkat deforestasi, jambi menarik karena jambi berpotensi namun cukup baik pengelolaannya,\" terangnya.

Diterangkannya, tingkat kerawanan korupsi dibagi 3, yakni resiko tinggi, sedang dan rendah. \"Ada 8 tahapan perizinan yang dievaluasi dari proses pendaftaran sampai pemberian SK, proses penerbitan untuk ijin hutan tanaman industri sangat besar potensi korupsinya,\" ungkapnya.

Dikatakannya, dalam pengurusan izin pengelolaan hutan ini, memang ada resiko praktek suap menyuap. \"Jadi kerugian negara itu didapatkan dari kerugian yang dibayar pengusaha dikalikan resiko dan besaran jumlahnya itu yang menjadi kerugian. Prevalensi suap juga tinggi,\" katanya.

Ditambahkannya, info dari pengusaha lazim membayar suap untuk menerbitkan izin ini. Lebih lanjut disebutkannya, praktek korupsi juga disebabkan kualitas birokrasi perizinan yang lemah. Transparansi juga lemah, perijinan sebagai pelayanan publik harus jelas SOP-nya. lalu akuntabilitas juga lemah, SOP dan SPM implementasinya dilapangan buruk. Lalu penegakan hukum juga lemah karena kalau dilihat, banyak pengusaha yang tak cukup optimis untuk mengurangi praktek suap dalam perizinan usaha.

\"Kepercayaan juga lemah karena SOP dan SPM juga tak diketahui pengusaha dan masyarakat. Selain itu, tata kelola perusahaan juga lemah karena tak melarang stafnya untuk tidak melakukan praktek suap,\" tambahnya lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: