Ekonomi Syariah dan Perlindungan Buruh
Sadeeq (1992) menyebutkan beberapa ketentuan yang akan menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah: (1) Hubungan antara majikan (musta’jir) dan buruh (ajir) adalah man to man brotherly relationship, yaitu hubungan persaudaraan. (2) Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti yang telah diutarakan, manusia tidak sama dengan barang modal. Manusia membutuhkan waktu untuk istirahat, sosialisasi, dan yang terpenting adalah waktu untuk ibadah. (3) Tingkat upah minimum harus mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dasar dari para tenaga kerja.
Implementasi nilai-nilai kemanusiaan dalam penentuan upah yang islami dapat berasal dari dua sumber. Yakni (1) Musta’jir, dan (2) Pemerintah. Musta’jir yang beriman akan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam penentuan upah bagi ajirnya. Termasuk dalam nilai kemanusiaan adalah unsur adil. Kemudian, Dalam mekanisme penetapan upah, Islam menjelaskan adanya dua prinsip dasar yaitu : pertama, Upah yang diberikan harus sebanding dengan kualitas kerja atau profesionalisme pekerja dan nilai manfaat yang dihasilkan. Kedua, Upah yang diberikan harus melebihi batas minimum kebutuhan pokok buruh, yang tidak hanya berpedoman kepada UMP/UMR semata.
Selain itu, pemberian hak-hak kemanusiaan lainnya adalah memberikan hak-hak cuti para buruh, memberikan pesangon sesuai masa pengabdian ketika memasuki masa pensiun di perusahaan tempatnya bekerja, memberikan jaminan masa depan pendidikan anak-anak para buruh oleh pemerintah dan juga perusahaan, memberikan upah terhadap kelebihan jam kerja yang proporsional. Setidaknya, uraian singkat ini, dapat memberikan satu gambaran bagaimana memanusiawikan kaum buruh, agar lebih dihargai kinerja mereka, dan tidak dieksploitasi yang secara tidak langsung diperbudak oleh para kapitalis-borjuis.
(Suwardi., SE. Sy adalah Wakil Direktur FiSTaC )
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: