Kitab Kuning dan Perempuan
Salah satu misi utama Islam adalah pembebasan perempuan dari segala hegemoni, kekerasan, eksploitasi, dan krimininalitas. Ketika orang-orang Makkah malu mempunyai anak perempuan sebagai symbol kelemahan dan ketidakberdayaan, Islam datang dengan menghapus asumsi negatif semacam itu. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia. Islam mengharamkan tradisi kafir jahiliyyah yang membunuh hidup-hidup anak perempuan, sebagai tindakan biadab-sadis yang tidak berperikemanusiaan.
Fakta Teologis-Sejarah
Badriyah Fayumi (2007) mencatat, pada masa sebelum Islam, perempuan ketika menstruasi (haidl) dipandang oleh kaum Yahudi sebagai makhluk kotor, sehingga para perempuan tersebut diasingkan di gunung-gunung, di bukit-bukit, mereka diberi tanda khusus, misalnya celak, pacar, mark up, dan lain-lain. Islam kemudian datang dengan doktrin yang sangat radikal dan revolusioner. Islam memandang haidl bagi perempuan adalah suatu yang alamiyah, normal, dan sebagai salah satu tanda kesuburannya. Oleh sebab itu tidak boleh diasingkan, apalagi disiksa. Perempuan yang sedang haidl harus diperlakukan seperti biasa. Sabda Nabi “ishna’u kulla syaiin illa al-nikah’, lakukan apa saja kecuali bersetubuh. Sabda Nabi ini sangat revolusioner pada waktu dulu. Sebuah lompatan ajaran dan budaya yang mampu mengubah persepsi minor terhadap perempuan yang sedang haidl. Nabi memberikan contoh dengan minum bersama Aisyah ketika sedang haidl
Entry Point Fiqh atas Pemberdayaan Perempuan
Melihat realitas sosial inilah, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melakukan kajian teks-teks fiqh (al-nushus al-fiqhiyyah) secara maksimal, baik dalam menganalisis, mengkomparasikan, dan memilih pendapat yang rajah (unggul) dalam pergumulan tradisi dan budaya Indonesia dengan teks-teks fiqh yang ada. Kita ingin menjadikan fiqh sebagai entry point pemberdayaan perempuan dalam aspek moralitas, intelektualitas, dan dedikasi sosial kemasyarakatan sebagai manifestasi peran publiknya. Emansipasi yang tetap dalam koridor dan bingkai syari’at Islam yang luhur, toleran, dan progresif.
Pelacakan dan pengembaraan dalam mengkaji teks-teks fiqh (alnushus al-fiqhiyyah) adalah langkah utama dalam melahirkan pemikiran integral, holistik, dan moderat yang bersenyawa dengan tradisi bangsa ini. Melakukan komparasi (muqoronah) satu pendapat dan pendapat lain adalah langkah kedua, baru kemudian memilih pendapat yang lebih rajih (unggul) dari segi dalil dan kemaslahatan social. Semua langkah ini dilakukan demi satu tujuan : menghadirkan fiqh sebagai solusi bagi problem sosial dengan cirinya yang moderat dan progresif. Langkah ini mendesak kita lakukan, melihat eskalasi gerakan feminisme liberal sudah masuk dalam jantung pertahanan umat ini dengan bendera dekonstruksi khazanah Islam. Konsep fiqh ingin disesuaikan dengan frame thinking mereka.
Kondisi yang demikian menjadi tantangan yang tidak ringan. Sebab, kalangan feminis telah berupaya melakukan dekonstruksi doktrin fiqh serta berupaya pula menggantikannya dengan ideologi kaum feminis yang sekuler dan liberal serta anti tuhan. Oleh karena itu, respon cepat dibutuhkan oleh semua elemen umat Islam yang tidak ingin desakralisasi fiqh menjadi niscaya.
Fakta Islam tidak Diskriminatif
Sejarah merekam banyak perempuan yang terkemuka dan terpandang karena kedalaman ilmu dan kezahidannya. Sebut saja Siti Khadijah, Siti Aisyah dan seterusnya. ‘Amrah binti ‘Abd Al-Rahman, sebagai seorang seorang faqihah yang sangat alim. Pada masa Mu’awiyah juga muncul tokoh-tokoh perempuan, seperti Ummu Banin, permaisuri Khalifah Al-Walid bin ‘Abd Al-Malik yang sangat terkenal, karena pengetahuan dan wawasannya yang luas dan visinya yang jauh ke depan. Dia sering kali menjadi tempat untuk meminta saran dan pendapat oleh khalifah. Dan masih banyak lagi dalam khazanah sejarah keilmuan Islam yang akan kita temukan tokoh perempuan memiliki peran yang tidak kecil pada masanya.
‘ala kulli hal, dari uraian tersebut di atas, diperoleh gambaran jika Islam sanagat memperkenankan peran perempuan tampil bersama laki-laki dalam memakmurkan bumi Allah. Namun, tetap dalam koridor Islam dan tidak melanggar ajaran Islam (baca : al-Quran dan al-Hadits), dengan keagungan moral. Wallahu a’lam. . . .
(Penulis adalah Wakil Direktur FiSTaC)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: