>

Tidak Peduli meski Ditentang God Father Psikiatri

 Tidak Peduli meski Ditentang God Father Psikiatri

 Dalam penelitiannya, Suryani menemukan pasien yang sudah sembuh dan bisa bersosialisasi dengan masyarakat, tapi masih merasakan otaknya kosong. Setelah melakukan upacara penglukatan, pasien akhirnya mampu melepaskan diri dari perasaan tidak nyaman.

 \"Begitu merasakan otaknya berisi, itu berarti otaknya mulai berfungsi. Pasien juga bisa diterima keluarga dan lingkungan sebagai orang normal. Tidak ada lagi stigma bagi pasien dan keluarganya. Dengan metode itu, pasien bisa hidup dan bergaul dengan keluarga dan masyarakat sehingga tidak memerlukan adaptasi baru lagi,\" bebernya.

 Karena itu, Suryani kerap mengedukasi keluarga pasien seputar penanganan pasien gangguan jiwa. Dia menyatakan bahwa gangguan jiwa bisa disembuhkan. Namun, seperti penyakit flu, peluang untuk kambuh pun ada. Karena itu, penanganan bagi pasien gangguan jiwa harus terus berkelanjutan.

 \"Jadi, pasien dan keluarganya juga dididik untuk memahami tanda-tanda dini bila kambuh. Pokoknya, kalau pasien mulai susah tidur, terus sering mimpi buruk, itu harus segera dibawa ke klinik saya. Sebab, kalau terlambat, bisa kambuh lagi.\"

 Suryani mencontohkan beberapa kasus pasien gangguan jiwa yang mengharuskan dirinya mengulangi dari awal tahap-tahap penyembuhannya. Salah satunya kasus pasien Komang. Dia dipasung hanya karena dianggap mengganggu rumah tangga orang lain. Berkat bantuan Suryani, Komang berhasil sembuh. Tidak sekadar sembuh, dia juga mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sayangnya, saat kambuh, Komang tidak segera mendapat penanganan yang tepat.

 \"Akhirnya, dia dipasung lagi oleh keluarganya dan saya harus mulai dari nol lagi untuk menyembuhkannya,\" ujarnya.

 Suryani mendirikan SIMH pada 2005. Saat itu, dia menghadapi kontroversi terkait dengan metode penyembuhan pasien gangguan jiwa yang diciptakannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk berhenti mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

 Melalui yayasan SIMH, Suryani membuktikan dirinya masih eksis di dunia psikiatri Indonesia. Pada 2007, dia memfokuskan diri pada kasus-kasus bunuh diri di Bali. Lantas, melalui survei oleh yayasannya, ditemukan banyak pasien gangguan jiwa berat yang mengalami pemasungan. Akhirnya, Suryani mulai menangani kasus-kasus pasien gangguan jiwa berat.

 Namun, karena pemotongan dana dari gubernur Bali yang cukup signifikan, rumitnya birokrasi pemerintahan di daerahnya, serta bantuan dana dari pemerintah yang tidak kunjung turun, Suryani sempat putus asa. Akhir Agustus 2013, dia memutuskan untuk menghentikan layanan pengobatan sukarelanya. \"Saya sudah berumur. Saya juga harus memikirkan dan menjaga kesehatan saya sendiri,\" katanya.

 Setelah memutuskan berhenti, ternyata laporan datang dari sejumlah relawan yayasannya. Mereka melaporkan banyaknya pasien Suryani yang kambuh. Tidak sedikit pula yang harus kembali dipasung. Apalagi salah satu pasien itu akhirnya bunuh diri karena putus asa dengan gangguan jiwa yang kerap kambuh.

 \"Mendengar laporan itu, saya sedih, terpukul, dan menangis. Akhirnya, saya putuskan semua pasien yang pernah saya tangani akan tetap saya tangani ketika mereka kambuh. Saya akan tetap berupaya menyembuhkan pasien-pasien yang datang kepada saya. Saya percaya Tuhan dan leluhur Bali pasti membantu mereka yang ikhlas membantu orang-orang yang memerlukan bantuan,\" tandasnya.

(*/c5/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: