>

Alasan Mendukung Pilkada Langsung

Alasan Mendukung Pilkada Langsung

Oleh: Ferdiansyah Rivai*

Akibat pembahasan RUU Pilkada yang mewacanakan kembali mekanisme pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) melalui DPRD, demokrasi Indonesia kini akan memasuki babak baru yang menentukan. Pilihannya adalah, apakah kita akan kembali pada sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung seperti di era Orde Baru? ataukah kita akan tetap mempertahankan sistem pemilihan kepala daerah langsung seperti sembilan tahun belakangan. Perdebatan mengenai hal ini terus bergulir kencang beberapa waktu belakangan, dan melibatkan hampir setiap lapisan masyarakat.

Adalah Kementerian Dalam Negeri yang menjadi insiator RUU Pilkada yang baru ini, yang kemudian didukung penuh oleh Koalisi Merah Putih yang duduk di DPR. Hal kedua memang fakta yang cukup unik, karena meskipun anggota-anggota DPR yang baru belum dilantik, dan usia keanggotaan yang lama hanya tinggal sekitar satu bulan lagi, namun polarisasi kekuatan di DPR sudah berubah drastis mengikuti polarisasi kekuatan yang terbentuk akibat dinamika Pilpres lalu. Kini kekuatan di DPR terpecah menjadi dua: Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN, PKS), dan Koalisi Pengusung Jokowi-JK (PDI-P, PKB, Hanura). Dengan kekuatan seperti ini, tentu saja RUU Pilkada yang baru hanya menunggu waktu saja untuk disahkan.

Lalu, apa sebenarnya baik/buruk yang akan ditimbulkan oleh UU Pilkada yang baru ini? Penulis sendiri berpendapat bahwa UU Pilkada yang baru merupakan langkah mundur bagi demokrasi kita. Oleh karena itu, penulis mendukung mekanisme Pilkada langsung seperti yang telah berjalan. Ada beberapa alasan yang bisa penulis kemukakan.

Pertama, Pilkada melalui DPRD tidak memberikan ruang luas bagi calon-calon alternatif yang diusung langsung oleh masyarakat. Dalam artian, mekanisme ini memberi ruang besar bagi anggota DPRD untuk abai pada calon-calon pemimpin yang populer dan berkontribusi besar pada masyarakat, untuk kemudian lebih mementingkan deal-deal politik yang ada di lingkaran utama mereka saja.

Pemimpin-pemimpin daerah yang tergolong sukses dan prestasinya mendapat banyak sorotan seperti Heri Zudianto, Joko Widodo, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini dan Nurdin Abdullah, merupakan golongan pemimpin yang maju akibat desakan langsung dari masyarakat luas. Dari beberapa catatan yang pernah muncul, dapat dilihat bahwa orang-orang ini sebenarnya tidak begitu tertarik dengan dunia politik. Namun karena banyak elemen masyarakat yang mendesak untuk maju, mereka pun akhirnya memutuskan berani. Dengan sistem pemilihan langsung, Partai Politik mau tidak mau harus memperhitungkan dan melirik mereka untuk diusung. Dan jika nanti pemimpin daerah kembali dipilih DPRD, hal seperti ini tentu saja bisa hilang.

Kedua, Pilkada langsung jelas berimplikasi sangat baik bagi kesadaran dan pendidikan politik masyarakat. Dengan Pilkada langsung, masyarakat praktis lebih cepat memahami adanya keterkaitan langsung antara penyelenggaraan pemerintahan dengan kehidupannya sehari-hari. Proses pemahaman ini akan terjadi seiring dengan luas dan masifnya sosialiasi politik yang dilakukan oleh partisan Pilkada. Melalui penjabaran dan rencana kerja partisan Pilkada, rakyat akan semakin paham, bahwa harga tepung, harga ikan, harga BBM,harga obat, semua bergantung pada keputusan politik. Jalan berlubang, listrik yang kerap padam, standar upah kerja, subsidi pendidikan, juga hasil dari keputusan politik. Dengan begitu, masyarakat tentu akan pro-aktif dalam menyuarakan aspirasinya, dan rakyat juga tidak akan main-main dalam menentukan siapa wakilnya di DPR/D dan di lembaga Eksekutif.

Ketiga, seringkali dikatakan bahwa Pilkada langsung membutuhkan biaya yang mahal. Dalam salah satu kesempatan, Dodi Ambardi (Dosen UGM dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia) dengan lugas dapat membalikkan pendapat ini. Menurut Dodi, biaya penyelenggaraan sebuah pilkada sekitar 25-50 milyar. Untuk Gorontalo yang memiliki APBD terkecil sebesar 568 mliyar (2010),hanya akan membelanjakan APBD sebesar 4 persen untuk penyelenggraaan Pilkada.

Untuk Provinsi Jambi yang APBD tahun 2014-nya mencapai Rp.3,07 Triliun, uang belanja Pilkada tersebut hanya sekitar 0,013 persen saja. Persentase ini malah akan menjadi jauh sangat kecil kalau kita menjumlahkan APBD selama lima tahun. Tentu saja Pilkada tidak langsung akan jauh lebih murah, namun murahnya biaya tersebut haruis dibayar dengan hilangnya sesuatu yang tidak mungkin terhargai, yaitu ruang partisipasi masyarakat.

Keempat, terkait mekanisme check and balances. Dengan Pilkada langsung, mekanisme ini pasti berjalan baik, karena ia memungkinkan duduknya orang-orang yang berbeda sudut pandang di lembaga eksekutif dan legislatif. Ia akan membuka ruang dinamika, dialektika dan sinergi ide yang lebih luas, yang tentu saja akan berimplikasi pada produk kebijakan. Jika pemimpin daerah dipilih langsung, maka besar kemungkinan pemimpin daerah hanyalah utusan DPRD yang bertugas untuk mengamankan kepentingan-kepenting Parpol/Anggota DPRD tersebut. Ini tentu akan merusak mekanisme check and balances dalam pemerintahan.

Kelima, terkait dengan adanya pendapat bahwa Pilkada langsung yang telah melahirkan pemimpin-pemimpin bermental korup. Bagi penulis, praktik korupsi dan mekanisme Pilkada langsung/tidak langsung tidak ada kaitannya sama sekali. Bagaimanapun mekanisme pemilihannya, setiap pemegang kekuasaan pasti memiliki ruang untuk korupsi (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, dan tentu semua itu bergantung pada karakter dan iman pengabdiannya. Mengapa banyak pemimpin daerah hasil pemilihan langsung yang tertangkap oleh KPK? Itu karena KPK baru berdiri pada akhir tahun 2003, dan mekanisme Pilkada langsung dimulai pada tahun 2005. Jadi, sebelum tahun 2003 tidak ada badan kuat yang memiliki otoritas penuh dalam melacak praktik korupsi pemerintah daerah. Selain itu, kita masih berada dalam proses transisi menuju demokrasi yang matang, di mana masih terdapat juga pemimpin-pemimpin bermental lama yang tidak paham pada cita-cita Reformasi.

Dengan beberapa alasan ini, maka dapat dilihat bahwa RUU Pilkada yang baru merupakan sebuah langkah mundur bagi demokrasi kita. Padahal, ruang partisipasi rakyat yang sudah sangat luas selama era Reformasi ini harus terus kita pelihara, karena sejatinya demokrasi haruslangsung dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan walaupun Pilkada langsung saat ini masih belum sempurna, namun setidaknyaperlahan kita telah melihat lahirnya pemimpin-pemimpin mudayang berdidikasi, didukung langsung oleh rakyat, dan juga  turut menginspirasi bakal calon-calon pemimpin lainnya.

*Mahasiswa Pascasarjana FISIPOL UGM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: