Land Reform; Tonggak Kedaulatan yang Hilang
Beberapa program pengelolaan agraria yang dijalankan di masa pemerintahan SBY antara lain, Infrastructure Summit (2005), Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (2005), Program Pembaruan Agraria Nasional (2006), Program Food Estate (2009), dan yang terakhir adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang akan dijalankan dalam periode tahun 2011-2025.
Sejumlah kebijakan agraria dan pertanian di atas, pada prakteknya justru bertentangan dengan janji di masa kampanye. Di sisi lain, pemerintah SBY juga menjalankan program-program liberalisasi pertanian yang pada pokoknya adalah memberikan akses lebih luas bagi produk-produk pertanian dari Negara maju untuk masuk ke pasar pertanian Indonesia.
Program Food Estate misalnya, adalah sebuah bukti nyata dukungan SBY terhadap skema liberalisasi sektor pangan dengan mengundang seluas-luasnya investasi di sektor pangan. Perwujudan nyata dari program Food estate adalah proyek Marauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua (Yayasan Pusaka, 2011). Secara hakekat, program tersebut merupakan upaya perampasan ruang hidup rakyat Marauke. Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi tempat bergantung hidup, membangun komunitas sosial dan tempat berkembangnya kehidupan, dirampas oleh puluhan perusahaan besar yang datang bersama pemerintah Indonesia dalam wujud militer dan polisi.
Bagaimana dengan Jokowi-JK? Dalam masa kampanye di Bulan Juni yang lalu, pasangan Jokow-JK tidak lupa menyertakan program Land Reform sebagai salah satu agenda prioritas dalam masa pemerintahannya. Hal ini di satu sisi patut di apresiasi. Namun di sisi lain, kiranya dapat pula menjadi boomerang bagi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih ini. Pasalnya, Program agraria Jokowi-JK belum memiliki perbedaan yang mendasar dengan program pemerintahan SBY, sehingga layak untuk diwaspadai oleh seluruh Rakyat Indonesia.
Program Land reform Jokowi-JK, akan membagikan tanah seluas 9 juta hektar kepada petani gurem, persis dengan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) pemerintahan SBY yang menjanjikan akan meredistribusi tanah seluas 8,15 juta hektar kepada petani. Namun hingga penghujung pemerintahannya, program ini tidak dapat dijalankan sebagai mana mestinya. Apa yang membedakan antara PPAN dengan program Jokowi-JK hanya pada masalah luas tanah, namun di mana obyek tanah dan siapa penerima tanah tersebut masih menjadi pertanyaan besar.
(Penulis adalah Anggota Kolektif Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jambi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: