Pandangan Tentang PERPPU No. 1 Tahun 2014

Pandangan Tentang PERPPU No. 1 Tahun 2014

(Jelang Keputusan DPR-RI di Bulan Januari Tahun 2015)

Oleh : Navarin Karim

Undang Nomor 22 tahun tahun 2014 tentang Pemilukada tidak langsung yang diputuskan oleh DPR-RI jadi berbuntut panjang, mengakibatkan Presiden RI  kala itu (Susilo Bambang Yudhoyono) terpaksa menyikapinya dengan mengeluarkan PERPPU NO 1 Tahun 2014 yang intinya membatalkan UU nomor 22 tahun 2014. Bulan Januari 2015 DPR-RI akan merespon PERPPU nomor 1 tahun 2014 tersebut  untuk menetapkan apakah PERPPU tersebut ditolak, diterima dan atau diterima dengan perbaikan di bulan Januari tahun 2015.

Menurut penulis PERPPU nomor 1 tahun 2014 ini merupakan penyempurnaan pemilukada yang telah dilakukan selama ini, sekaligus mengakomodir kritikan masyarakat dan pengamat politik. Dengan kata lain ada niat baik Pemerintah menciptakan dinamika politik menuju arah yang lebih baik.  Jadi tidak ada alasan DPR-RI untuk menolak PERPPU Nomor 1 tahun 2014, kalaupun ada penolakan tidak secara keseluruhan tetapi hanya sebagai kecil yang diperbaiki. Lebih arif jika DPR-RI menerima PERPPU Nomor 1 tahun 2014 dengan perbaikan. Jadi bukan semata untuk membatalkan pemilukada tidak langsung yang dianggap terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Untuk lebih gamblangnya mari kita kaji satu persatu point-point penting yang merupakan penyempurnaan pemilukada  di masa silam.

Pertama. Adanya uji public kepala daerah dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuan yang rendah. Penulis sangat setuju dengan point ini, untuk pengujian integritas serahkan kepada tim Psikolog yang independent. Jika perlu gunakan alat “Lie detector”, seperti iklan mie sedap. Mie sedap dikatakan tidak enak, padahal enak. Ketika dia mengingkari hati nuraninya grafik akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan berbohong. Sedangkan untuk uji kemampuan, materi pengujiannya dapat berupa visi dan misi, wawasan calon tentang potensi daerah, dan kemampuannya dalam meningkatkan pelayanan umum, peningkatan daya saing daerha dan kesejahteraan rakyat. Kedua. Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan. Mudah-mudahan jika ini diterapkan dapat dialihkan untuk pemanfaatan sebesar-besarnya dalam mengurangi jumlah angka kemiskinan di daerah. Ketiga. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan mencegah konflik horizontal.  Penulis setuju, mengingat kampanye terbuka tidak bersifat mendidik, paling dalam kampanye  yang dominan hanya yel-yel saja yang dapat di dengar dan komunikasi yang terjadi hanya searah.

Keempat. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye. Ini jelas mencegah terjadinya pemberian uang dan sembako kepada pemilih dan dianggap mengajar masyarakat  menjadi ketagihan dengan praktek money politik. Kelima. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung dapat berdampak pada  penyalahgunaan wewenang . Signal yang dapat ditangkap dari point ini adalah agar calon kepala daerah tidak lagi memberi uang dan parpol pengusung dimasa yang akan datang. Motivasinya dapat mengusung calon yang berasal dari kadernya sendiri, dust pimpinan parpol mulai membudayakan pengkaderan anggota partai secara teratur dan berkesinambungan. Keenam. Larangan kampanye Hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal. Penulis setuju hal ini, agar calon kepala daerah dan tim kampanye dan tim sukses tidak menebarkan isu yang tidak bertanggung jawab, kecuali negative campaign masih dibolehkan jika ada fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketujuh. Pelarangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca pilkada karena dianggap tidak mendukung calon. Point ini merupakan perlindungan terhadap PNS yang netral, selama ini PNS yang netral saja bisa dicopot jabatannya, apalagi tidak mendukung calon kepala daerah yang menang. Mudah-mudahan dimasa yang akan datang istilah   PNS yang berpihak  “ora edan ora kedumen” tidak akan ada lagi. Kedelapan. Pengaturan yang jelas, akuntabel dan transparan  terkait penyelesaian sengketa hasil pemilukada. Point ini penting agar tidak terjadi kasus-kasus Akil Muchtar yang masih dipertanyakan apakah yang diputuskan menang sengketa tersebut “benar-benar menang”. Kesembilan. Pengaturan tanggung jawab atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung. Ini mendidik agar pendukung tidak brutal, karena yang akan merasa rugi besar bukan lagi daerah, tetapi dibebankan kepada kandidat yang didukungnya. Kesepuluh. Pilkada serentak, jelas sekali positif agar dapat melakukan penghematan uang Negara. Kesebelas. Pengaturan ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU. Point ini agar parpol-parpol terbiasa dengan tertib administrasi. Kedua belas. Penyelesaian sengketa hanya dua tingkat yaitu pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA), jadi tidak perlu lagi sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Memang terasa aneh, persoalan pidana pemilu di masukkan dalam tupoksi MK, padahal jelas Tupoksi utama MK adalah uji materi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945.  Ketiga belas. Gugatan perselisihan hasil pilkada ke pengadilan Tinggi dan MA hanya dapat diajukan apabila hasil penetapan perolehan suara oleh KPUD secara significant. Dapat dimaknai agar pihak yang dikalahkan berfikir dua kali tidak asal mengajukan banding, apalagi jika bukti fakta tidak lengkap dan banding yang diajukan diperhitungkan tidak akan mempengaruhi lagi keputusan penentuan pemenang.

Perlu Perbaikan lagi. Diantara point yang sudah disempurnakan diatas, menurut penulis masih ada satu point lagi yang harus dihilangkan yaitu larangan pemanfaatan program atau kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (incumbent). Menurut penulis tidak perlu  pelarangan terhadap hal tersebut bagi petahana, biar saja petahana memanfaatkan program dan kegiatan daerah, namun pihak calon penantang juga dibolehkan menggunakan program tersebut dengan cara melakukan penyempurnaan. Yang penting adalah percepatan dalam mencapai program dan kegiatan daerah, seperti di Amerika Sarikat, program relative sama yang dinilai dalam kampanye adalah bagaimana percepatan menggapai program dan kegiatan daerah yang berujung kepada percepatan peningkatan pelayanan umum,  daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat.

------------------------

Penulis adalah Ketua Pelanta (Komunitas Penulis Jambi) dan dosen PNSD Kopertis wilayah X dpk STISIP NH Jambi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: