Bukan Sarjana Tahlil

Bukan Sarjana Tahlil

(Surat Terbuka untuk Wisudawan IAIN STS Jambi, 29 Desember 2014)

Oleh : Suwardi, SE.Sy

 

Dalam dunia Barat, Pendidikan dikenal sebagai education. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu educere atau bahasa Inggrisnya educe. Educe artinya mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi diri. Sifat “mengaktualisasikan dan mengembangkan” lebih bermakna sebagai skill. Padahal kenyataannya skill berbeda dengan ilmu. Oleh karena itu, konsep pendidikan yang telah dikembangkan dari bahasa Latin tersebut, sebenarnya dialamatkan kepada jenis hewan, bukan kepada manusia (the referents in the conception of education derived form the Latin concepts encompass the animal species, and are not restricted only to “rational animals”. (baca: SMN Al-Attas, The Concept of Education in Islam: 1999).

Lebih lanjut Al-Attas (1999) menegaskan, Education (pendidikan) adalah sebuah proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia (a process of instilling something into human beings). Jadi, proses penanaman sesuatu hanya berlaku kepada manusia (dalam hal ini adalah pendidikan), bukan hewan. Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan ke dalam diri seseorang dan kepribadiannya. Dengan demikian, hasil dari penanaman kebaikan tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk jiwa (psikologis). Sehingga tujuan akhir dari menuntut ilmu adalah untuk menghasilkan manusia yang baik (to produce a good man).

Namun demikian, tujuan akhir pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup seseorang Muslim. Pendidikan Islam itu sendiri hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan hidup Muslim, bukan tujuan akhir (QS. Al-Dzariat: 56). Penanaman nilai-nilai kebaikan dan pemahaman terhadap diri manusia tersebut juga dibutuhkan sebuah kesinambungan yang dengan sendirinya memiliki korelasi dengan tujuan akhir manusia (baca: QS. Al-Dzariat : 56). Sehingga menjadikan orientasi hidup Muslim ini pula yang menjadi tujuan pendidikan di dunia Islam sepanjang sejarahnya, semenjak Zaman Nabi Muhammad saw hingga sekarang. Bahkan, di dalam World Conference on Muslim Education yang pertama diselenggarakan di Kota Mekkah, 31 Maret – 8 April 1977 lebih dipertegas lagi dan diberi definisi sebagai berikut: Education should aim at balanced growth of the total personality of man through the training of man”s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of idividual, the community and humanity at large.

Dari catatan penulis tersebut di atas, penulis meyakini akan banyak pro-kontra mengenai defenisi dan juga tujuan dari pendidikan bahkan perdebatan dalam lintasan teoritis akademik sudah pasti akan mewarnai bagi mereka yang membaca tulisan ini memiliki latar belakang ilmu pendidikan yang “purna”. Akan tetapi orientasi penulis mengurai perbedaan tersebut bukan untuk mengundang perdebatan teoritis yang tidak berkesudahan, namun lebih dari itu, penulis ingin mengungkap peran dan implementasi atas operasionalisasi silabus pada Perguruan Tinggi Agama Islam (baca: IAIS STS Jambi) dalam membentuk manusia yang bermanfaat dan mampu menghadirkan solusi terhadap masalah yang ada di dalam masyarakat.

 

IAIN STS dan Visi Keilmuan

Secara Historis, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) khususnya IAIN, memang lahir dari peleburan PTAIN  yang berkedudukan di Yogyakarta dengan mengacu pada PP. No. 34 tahun 1950 dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta berdasarkan  Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1957 tanggal 1 Januari 1957. Unifikasi kedua lembaga pendidikan tersebut menjadi IAIN didasarkan atas Peraturan Presiden No. 77 tahun 1960 tanggal 9 Mei 1960, dengan sebutan lain “al-Jami”ah al-Islamiah al-Hukumiyah.” Dengan tujuan mempersiapkan tenaga-tenaga yang dapat mengisi tugas-tugas di bidang keagamaan. Namun, kini tujuan tersebut telah mengalami pergeseran dan perluasan misi, sejalan dengan perkembangan IAIN itu sendiri dalam menjawab tuntutan zaman.

Demikian juga halnya dengan IAIN STS Jambi yang mempersiapkan calon pemimpin bangsa Indonesia dengan karakteristik keilmuan Islam dan juga keilmuan umum yang siap mengisi pembangunan diantaranya adalah Ilmu Perpustakaan, SPI, Sastra Inggris, Sastra Arab, Penyuluhan Islam, Public Relation, Ilmu Jurnalistik, Komunikasi, Tafsir Hadist/Ilmu Alquran, Tadris Bahasa Inggris, Kependidikan Islam, PGMI, PBA, PAI, Tadris Biologi, Fisika, Matematika, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Jinayah Siyasah, Perbandingan Madzhad dan Hukum, Muamalat, Ekonomi Syariah, Ilmu Pemerintahan, Politik Islam.

Dari paparan penulis mengenai jurusan dan juga prodi yang terdapat di IAIN STS Jambi, sangatlah jelas, bahwasanya IAIN STS Jambi tidak sekedar mempersiapkan alumnus yang memperdalam ilmu al-Quran dalam makna sempit, tetapi juga mengimplementasikan nilai-nilai al-Quran dan juga ilmu yang ada dalam al-Quran dalam bidang Biologi, Ekonomi, Politik, Pemerintahan dan bahkan ilmu Jurnalistik, yang sudah pasti disiplin keilmuan tersebut di atas dibutuhkan oleh pasar dewasa ini, yang tentunya dengan tenaga yang memiliki akhlak, etika, dan pemahaman agama yang baik. Bukankah Albert Einstein juga pernah mengungkapkan science without relegion is blind and relegion without science is lame.

Bahkan khusus untuk persoalan ekonomi, dunia hari ini sedang sakit dengan sistem ekonomi kapitalis-hedonis, mereka berlomba bahkan menerapkan sistem ekonomi Islam. IAIN justru telah mempersiapkan tenaga ahli dibidangnya (baca: Jur. E. Syariah). Pada saat bersamaan, perguruan Tinggi Umum membuka jurusan ekonomi Islam dengan orientasi peluang pasar bukan didasarkan rumpun ilmu (baca: Muamalat).

Penulis tergerak untuk menulis artikel ini dikarenakan, banyak yang memandang sebelah mata alumni IAIN. Dengan mengatakan alumnus tersebut hanya mampu memimpin tahlil, membaca doa kematian dan selamatan. Namun, tidak bisa bekerja di pemerintahan. Stigma itu semua salah, dikarenakan banyak alumni IAIN yang menjadi Pejabat, Teknokrat, Birokrat, Politisi, Penulis dan sebagainya. Bahkan dengan tindakah bodoh beberapa waktu lalu alumni Tadris di tolak oleh Pemerintah Kab/kota untuk menjadi PNS dengan alasan yang bodoh pula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: