Oposisi Sama Sisi

Oposisi Sama Sisi

Oleh: Ronny P. Sasmita

Kisruh internal yang melanda PPP dan Golkar menjadi awal mula melempemnnya kekuatan penyeimbang dan oposisi diparlemen. Meski tak ada pengakuan secara eksplisit soal keterlibatan rezim, namun intervensi tak terlihat JK ke dalam jantung partai beringin meninggalkan bau yang jelas dan kentara.  Bermula dari suara sumbang Agung Laksono pada masa kampanye Pilpres lalu yang menginginkan Golkar ada di kubu KIH, sampai pada lahirnya dualisme kongres, yakni kongres Bali dan Jakarta. Hal serupa juga melanda PPP beberapa waktu sebelum pohon beringin dilanda badai.

 

Golkar adalah partai terbesar di dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Oleh karena itu pula kegalauan Golkar secara otomatis akan menjadi kegalauan KMP juga. Jika Golkar akhirnya melonggarkan hasrat opposisionalnya, maka nafas KMP akan sesak sesaat itu juga. Otomatis yang tersisa sebagai kekuatan oposisi vokal di KMP adalah Gerindra dan PKS yang disinyalir tidak mempunyai terlalu banyak dosa yang akan dinegoisiasikan dengan penguasa plus KIH. Meski demikian, dua partai ini akan sangat  keteteran jika hitungan akhir pertarungan berlabuh pada voting karena akan kalah suara secara telak.

 

Pertahan Aburizal Bakrie akhirnya jebol setelah pemerintah disatu sisi mulai mengarahkan pandangan pada penyelesaian dana kompensasi masyarakat Sidoardjo yang berlarut-larut di era SBY dan disisi lain konflik internal Golkar juga memaksa Ical meminta-minta legitimasi politik (pengakuan) pada rezim penguasa .

 

Semburan lumpur Lapindo adalah kelemahan politik Ical plus Golkar yang juga telah membuat Golkar merapat menjadi penumpang gelap di dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY periode kedua. Padahal pada Pilpres 2009, Golkar memaksakan diri memajukan JK sebagai calon presiden karena SBY sudah tidak merasa satu hati lagi dengan beliau. Namun  akhirnya kepentingan taktis partai beringin (baca: kepentingan Ical) memunculkan urgensi untuk segera merapat ke pemerintah waktu itu. Disinyalir  yang menjadi salah satu kepentingan utamanya  adalah untuk menjinakan bola liar lumpur Lapindo agar tidak menyembur ke muka Ical plus Golkar semata.

 

Posisi mengambang Partai Demokratpun tanpaknya tak jauh berbeda dengan Golkar. Kepentingan praktis dan jangka pendek partai telah mengendorkan daya kritis dan hasrat “penyeimbang” partai  yang berlogo bintang mercy ini. Sedari awal memang partai demokrat sudah memproklamirkan diri sebagai penyeimbang (bukan oposisi) yang bisa berayun sesuai “political profit” alias keuntungan politik yang ada.  Saat penentuan jajaran pemimpin DPR dan MPR silam, Demokrat tampak sangat akrab dengan lingkaran KMP, namun setelah isu Perppu Pilkada mulai merebak lagi, SBY kembali melabuhkan Demokrat ke Istana yang secara “familial” pada akhirnya juga akan menyeret PAN ke biduk KIH. Pasalnya, akan sangat tidak tidak menguntungkan bagi kedua ketua partai yang berbesanan ini jika saling adu perbedaan pandangan di ruang publik.

 

Ketidakjelasan posisi politik dua partai besar ini membuat pembeda antara koalisi pendukung pemerintah dengan koalisi penyeimbang pemerintah menjadi kabur.  Hasilnya telah begitu nyata terlihat. Mekanisme check and balances itu pelan-pelan menjadi basi.  Interpelasi BBM  tak jelas  lagi rimbanya. Bos Kejaksaan yang notabene dari Parpol melenggang bebas ke puncak pimpinan. Pertanggungjawaban anggaran kartu-kartu sakti  juga kian  sumir. Dan terakhir calon Kapolri yang diteriyaki “tersangka’ oleh KPK malah teramini secara aklamasi oleh DPR.

 

Peristiwa politik  yang terakhir terasa sangat kentara betapa kekuatan penyeimbang itu basa-basi belaka. Pemilihan calon Kapolri oleh pemerintah dihiasi dengan kisruh status tersangka yang dicantelkan KPK kepada sosok Budi Gunawan sebagai calon tunggal dari pemerintah. Situasi ini mirip dengan penetapan ketua DPR beberapa waktu lalu dimana Setya Novianto juga diteriaki KPK sebagai kandidat yang bermasalah secara hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: