Regulasi Review Perda Kota Jambi

Regulasi Review Perda Kota Jambi

(Penyempurnaan Perda No. 2 Tahun 2010 dan  No.  2 Tahun 2014)

Navarin Karim

 

Dalam minggu ini ada dua informasi yang mengagetkan jika penulis hubungkan dengan pengelolaan kota Jambi. Informasi pertama adalah tanggal 20 Januari 2015 hampir seluruh media elektronik dan media massa di Jambi memberitakan tentang dua orang Wanita Tuna Susila  tewas karena menegak minuman keras oplosan di tempat pelacuran Payosigadung (Pucuk) yang telah resmi ditutup oleh Walikota Jambi. Dan Informasi kedua penulis dapatkan pada running text  Metro TV pada tanggal 23 Januari 2014  dengan berita : sebanyak 457 orang penyelenggara parkir liar ditangkap. Informasi pertama memunculkan masalah yang perlu dipertanyakan adalah apakah eks lokasi pelacuran Pucuk sudah benar-benar ditutup. Kalau sudah, perlu dipertanyakan tentang efektifitas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2014  tentang Pemberantasan dan Perbuatan Asusila. Perda ini tak terasa pada tanggal 16 Februari 2015 genap berusia satu tahun. Sementara informasi kedua yang memicu penulis persoalkan adalah : kenapa di Jambi tidak pernah ada pelaku parkir liar ditangkap? Atau penulis yang tidak pernah tahu ada yang ditangkap, atau ada konspirasi antara Dinas Parkir dengan pelaku parkir liar?

Setelah penulis mencoba mendapatkan  Perda Nomor 2 Tahun 2014  (tentang Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan Asusila) dan Perda Nomor 2 Tahun 2010 (tentang Izin Penyelenggaraan Fasilitas Parkir) tersebut, titik terang mulai ditemukan. Penulis menemukan ada beberapa pengaturan yang mempunyai celah, sehingga tidak efektifnya Perda tersebut. Oleh sebab itu kedua Perda  perlu dilakukan regulasi review  agar dapat lebih efektif .  Ada dua alasan utama kenapa kedua Perda tersebut perlu disempurnakan (diulangi) : Pertama. Suatu Peraturan yang baik selalu disesuaikan dengan keadaan yang berkembang sesuai konsekuensi dari peraturan yang dibuat. Sedangkan UUD 1945 saja tidak bersifat permanent dan bukan lagi dianggap sebagai kitab suci (baca : masa Orba). Kedua : Tradisi di DPRD Kota,  Perda  sebelum disyahkan, sering tidak melalui uji public.

Penyempurnaan Perda Nomor 2 Tahun 2014

Pada Perda Nomor 2 tahun 2014 ada dua hal yang perlu mendapat perhatian :  (1) Bab VIII Ketentuan Penutup pada pasal 22 ayat 1 disebutkan bahwa paling lambat satu tahun setelah berlakunya peraturan daerah ini Walikota wajib menutup semua lokasi dan/atau tempat pelacuran yang ada di kota Jambi. Sementara pada pasal 23 dicantumkan bahwa Peraturan Daerah ini mulai berlaku satu (1) tahun sejak diundangkan. Jika penulis hubungkan kedua pasal ini, berarti 2 tahun toleransi yang dapat diberikan kepada Walikota untuk menutup tuntas tempat pelacuran tersebut. Jadi masyarakat Jambi baru dapat minta pertanggung jawaban Walikota atas ketidak-efektifan Perda tersebut yaitu setelah tanggal 16 Februari 2016.  Kecuali pada Pasal 22 ayat 1 disempurnakan dengan redaksinya yaitu kata-kata satu tahun dihilangkan, sehingga menjadi :Paling lambat setelah berlakunya peraturan daerah ini : Walikota wajib menutup semua lokalisasi dan/atau tempat pelacuran yang ada di kota Jambi. Jadi setelah tanggal 16 Februari 2015 : masyarakat bisa minta pertanggungjawaban Walikota tentang praktek penutupan pucuk dan tidak perlu menunggu terlalu lama hingga setelah tanggal 16 Febrari 2016. (2) Dalam pasal-pasal yang ada tidak ditemukan larangan dan sanksi oknum aparat yang melakukan perlindungan terhadap praktek pelacuran tersebut.

Penyempurnaan Perda Nomor 2 Tahun 2010

Pada Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Izin Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Oleh Badan Untuk Umum. Dari judul Perda ini jelas hanya mengatur tentang penyelenggaraan parkir oleh Badan untuk umum, tidak ada menyangkut pengaturan tentang parkir oleh kelompok masyarakat. Oleh sebab itu banyak ditemukan adanya penyelenggara parkir kelompok masyarakat/perorangan yang dilakukan secara illegal/tidak resmi. Indikasinya di lapangan dapat kita temukan parkir diselenggarakan tanpa karcis dan petugas parkir tanpa menggunakan ID Card dan pakaian khusus sebagai petugas parkir. Mereka hanya bermodalkan peluit kemudian dengan gagah beraninya mengatur dan meminta uang kepada masyarakat yang parkir. Persoalannya apakah uang parkir itu masuk ke Dinas parkir atau untuk pribadi atau kelompoknya. Bisa juga terjadi konspirasi antara petugas parkir dengan oknum pegawai Dinas parkir, karena uang hasil penyelenggaraan parkir perorangan/kelompok masyarakat ini tidak jelas peruntukkannya dan tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal lain yang perlu dilakukan adalah adanya kewajiban agar pemilik ruko yang berada di pinggir jalan protocol menyisakan bagian depan ruko agar dapat digunakan tempat parkir minimal untuk dua mobil, jika tidak bisa saja dikaitkan dengan pencabutan izin kegiatan rukonyo. Hal ini untuk menghindari parkir yang dilakukan masyarakat terpaksa harus memakan badan jalan. Demikian juga dengan lembaga pendidikan informal dan formal agar dibuat  juga aturan melarang siswa menggunakan mobil pribadi untuk parkir di badan jalan/di depan sekolah yang dapat mengakibatkan kemacetan lalu lintas.  Oleh sebab itu dalam peraturan Penyelenggaraan Fasilitas Parkir perlu juga pengaturan terhadap lembaga pendidikan yang banyak menyumbangkan kemacetan akibat parkir di badan  jalan.

-------------------------

Penulis adalah Dosen tetap Fisipol Universitas Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: