Novanto Tetap Mengelak
Bukan sekali ini Novanto terjerat kasus pelanggaran etik di MKD. Saat ramai skandal pertemuan dengan calon presiden Donald Trump, Novanto bersama wakil ketua DPR Fadli Zon diperiksa oleh MKD. Namun, kurang transparannya pemeriksaan MKD hanya berujung pada sanksi ringan, berupa teguran tertulis.
Berkaca pada itulah, MKD diminta untuk melakukan pemeriksaan terbuka terhadap Novanto di kasus pencatutan nama Presiden. Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri menilai, untuk memastikan hal tersebut, hendaknya rapat-rapat MKD dilaksanakan secara terbuka, mulai dari pemeriksaan hingga pengambilan keputusan.
\"Hal ini untuk memastikan proses penanganan etik berada pada koridor undang-undang dan kode etik DPR,\" kata Ronald.
Menurut Ronald, mengingat posisi terlapor merupakan ketua DPR, MKD diharap bertindak imparsial dan tidak menerima intervensi apapun dan takut dengan tekanan dari pihak manapun (Pasal 11 ayat (1) Kode Etik MKD). Hal ini juga untuk mencegah terulangnya preseden buruk dari ketertutupan pemeriksaan Novanto dalam kasus Donald Trump, yang tidak transparan dan akuntabel.
‘‘Kegagalan untuk menjalankan proses pemeriksaan etik dalam kasus ini secara terbuka akan membuat semakin terpuruknya wibawa DPR,’‘ kata Ronald.
Dia mengingatkan, preseden membuka persidangan etik telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam kasus Akil Mochtar. DPR hendaknya mengikuti preseden yang baik tersebut untuk mencegah keterpurukan wibawa parlemen lebih buruk lagi. Karena itu, tidak ada salahnya MKD untuk melakukan perubahan dengan membuka semua proses pemeriksaan terhadap kasus pencatutan nama.
‘‘Mendesak juga kepada terlapor untuk secara sementara mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR sampai ada putusan tetap dari MKD,’‘ tandasnya.
Mantan Direktur Jendreal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Simon Sembiring menyebut kasus tersebut memang harus dibuka tuntas. Namun, dia menyarankan agar MKD tidak hanya fokus pada Setya Novanto. Pemeriksaan terhadap PT Freeport Indonesia menurutnya perlu dilakukan.
Sebagai mantan pejabat yang membawahi perusahaan tambang, Simon mengatakan Freeport tidak bersih 100 persen dari kasus pencatutan nama presiden dan wakilnya itu. Alasannya, aneh kalau pertemuan sudah terjalin sampai tiga kali tetapi tidak memiliki maksud tertentu. ‘‘Bisa saja mereka mencari jalan melalui DPR,’‘ terangnya.
Jalan yang dimaksud Simon bisa jadi terkait dengan perpanjangan kontrak. Seperti diketahui, kontrak Freeport di Indonesia berakhir pada 2021 dan pengajuan perpanjangan baru bisa dilakukan pada 2019. Perusahaan asal AS itu sempat girang karena peluang mengajukan perpanjangan kontrak lebih cepat terbuka lebar.
Itu terjadi setelah Kementerian ESDM berniat merevisi PP 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kalau aturan itu direvisi, Freeport dan perusahaan tambang lainnya bisa mengajukan perpanjangan kontrak dalam kurun waktu 10 tahun sebelum deadline.
‘‘Freeport kurang ajar juga. Kenapa mau meladeni dia terus mencak-mencak lapor ke menteri. Kalau mereka memang bagus, stop jangan mau diskusi,’‘ katanya. Dia khawatir, Freeport memang mencari dukungan DPR melalui Setya. Namun, keinginan itu berbalik menjadi perlawanan setelah Setya meminta yang aneh-aneh.
Respon Istana
Sebagai pihak yang ikut terseret, istana juga turut mencermati perkembangan persoalan Freeport dan isu yang berkembang dibaliknya. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan, kalau presiden juga telah membaca transkrip rekaman pembicaraan antara petinggi DPR dengan pihak Freeport yang beredar luas.
‘‘Presiden sudah tahu duduk persoalan yang sebenarnya, detilnya beliau juga sudah tahu,’‘ beber Pramono Anung, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (17/11). Bahkan, lanjut dia, laporan dan informasi yang diterima jauh-jauh hari sebelum polemik muncul ke publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: