Kegigihan Pejuang Sanitasi di Biak Numfor Mengubah Tradisi Tidak Sehat
Sejak itulah, Marthina berupaya mencari cara dan strategi untuk memajukan desanya. Dia pun lantas belajar ke Yayasan Rumsram di Biak, ibu kota Biak Numfor, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Komboi untuk tahu apa itu STBM. Juga, tentang apa itu lima pilar dan bagaimana mengajak masyarakat turut ambil bagian.
Dari sanalah dia tahu cara membuat jamban sederhana. Dia juga jadi tahu yang dimaksud lima pilar STBM adalah stop BABS, cuci tangan dengan sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga (PAM RT), pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Kebetulan, sejak 2 Maret 2011, di Komboi mulai diadakan program STBM yang dimotori Unicef, Simavi, dan Wahana Visi Indonesia. Marthina pun mendapatkan dukungan penuh dari Unicef.
Untuk memberikan contoh, Marthina memulai dengan membangun jamban di rumahnya dulu. Sesudah itu, dia mulai mendatangi rumah demi rumah di kampungnya. Tugasnya kemudian meluas ke 14 kampung di Distrik Warsa. Semua dijalaninya sembari berjalan kaki, tanpa sepeser pun bayaran.
‘’Tapi, tetap saja ada yang sinis mengira apa yang mama lakukan ini ada uangnya. Mereka (warga yang dibina, Red) sering menanyakan itu,’’ceritanya.
Seiring tumbuhnya kesadaran di Komboi, dia pun mendapatkan tambahan tenaga dari 14 relawan dari kampung tersebut yang terinspirasi perjuangannya. Tak hanya memberikan pemahaman, para relawan tersebut gotong royong mempersiapkan sarana dan prasarana untuk membangun lima pilar STBM.
Biasanya, para relawan menyiapkan material untuk pembuatan jamban dari bahan-bahan di setiap kampung atau bahan daur ulang. Misalnya, bambu, slang untuk membuat lubang, atau tempat bekas menampung minyak tanah.
Selain Marthina, ada sosok pejuang sanitasi dalam bentuk lain seperti Ruben Brabar. Warga Kampung Kormon di distrik yang sama, Warsa, itu dikenal sebagai perajin jamban model leher angsa.
Meski pengusaha, misi sosial Ruben sangat besar. Demi turut menciptakan lingkungan sehat, dia rela menjual jamban produksinya dengan harga separo atau bahkan memberikannya secara cuma-cuma.
Per pekan, dari ruang berukuran 4 x 5 meter di samping rumahnya, dia bisa menghasilkan 15 jamban leher angsa. Bahan yang digunakan Ruben adalah semen putih, pasir, dan kalsium. Untuk melakukan finishing, dia dibantu seorang tenaga sukarela.
‘’Dia datang sendiri, tanpa saya suruh dan saya tidak bayar. Dia melakukan ampelas setelah mengering,’’ tuturnya.
Jamban produksi Ruben dibanderol Rp 100 ribu per unit. Namun, pria 63 tahun itu sadar, tidak semua warga sekitarnya berkemampuan secara ekonomi. ‘’Paling rendah saya beri harga 50 ribu, tapi kadang saya beri gratis,’’ceritanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: