>

Kegigihan Pejuang Sanitasi di Biak Numfor Mengubah Tradisi Tidak Sehat

 Kegigihan Pejuang Sanitasi di Biak Numfor Mengubah Tradisi Tidak Sehat

 Kenyang Jadi Sasaran Kemarahan dan Ancaman

  Demi mendorong pemasalan sanitasi sehat, Marthina Awak Komboi menjelajah belasan kampung dengan berjalan kaki. Sementara itu, Ruben Brabar rela menjual jamban produksinya separo harga atau bahkan memberikannya secara gratis.

 NIATNYA sebenarnya hanya lewat, tak hendak mampir. Tetapi, tiba-tiba pintu rumah terbuka dan keluarlah sang pemilik sembari membawa segunung kemarahan.

 ‘’Mama, ini program jamban bagaimana? Jangan lagi mama yang ke sini, yang lain saja,’’ damprat pria pemilik rumah di Kampung Komboi, Distrik (Kecamatan) Warsa, Kabupaten Biak Numfor, Papua, itu kepada Marthina Awak Komboi.

 Dampratan seperti itu tak hanya sekali atau dua kali dialami perempuan yang akrab disapa Mama Marthina tersebut. Di awal aktivitasnya sebagai pejuang sanitasi di Distrik Warsa pada 2011, berkali-kali guru di SD Inpres Komboi itu menghadapi sinisme, kemarahan, bahkan ancaman.

  Bahkan, pernah sekali dia kena pukul. ‘’Tapi, sepertinya tidak sengaja. Itu bukan masalah untuk mama,’’ tuturnya ketika pertama bertemu Jawa Pos di sela workshop Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang diadakan Unicef dan Pemerintah Provinsi Papua di Biak (17/11).

 Maklum, yang dihadapi Marthina adalah kebiasaan yang sudah mentradisi sekian lama. Papua adalah provinsi dengan kondisi sanitasi paling buruk di Indonesia. Berdasar Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2013 yang diadakan Badan Pusat Statistik, tingkat cakupan sanitasi di Papua paling rendah, hanya 29,74 persen.

 Parahnya, menurut laporan Levels and Trends in Child Mortality oleh UN Inter-Agency Group for Child Mortality Estimation, Indonesia tercatat sebagai negara dengan angka BABS terbesar kedua di dunia. Yakni, 51 juta orang atau seperlima dari total populasi.

 Jadi, bisa dibayangkan betapa beratnya tantangan yang dihadapi Marthina. Dia mesti mematahkan anggapan yang memandang sanitasi sehat itu bertentangan dengan kultur setempat.

 Tetapi, tak sekali pun semangat Marthina kendur. Buntutnya, setahun setelah dia berjuang, Komboi menjadi kampung pertama yang mendeklarasikan STBM di Biak Numfor. Tiap rumah di sana sudah dilengkapi jamban, sesederhana apa pun itu.

 Ada yang model cemplung, ada pula yang leher angsa. Sesederhana apa pun itu, Marthina sangat bangga. ‘’Tapi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan,’’kata perempuan 47 tahun tersebut merendah dalam percakapan berikutnya dengan Jawa Pos di Pantai Komboi (18/11).

 Perjuangan Marthina memang diawali rasa keprihatinan terhadap kondisi kampung tempat dia tinggal, Komboi. Warga di sana secara sembarangan buang apuy (tahi) di kebun atau sungai. Padahal, air sungai itu juga dimanfaatkan untuk mandi, masak, dan minum.

‘’Teriris hati saya melihat itu,’’ungkapnya dengan emosional.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: