PENGUATAN IDIOLOGI DALAM PEMBANGUNAN POLITIK
Navarin Karim
Idiologi sejak di era reformasi hampir tidak ada dan seolah mati dalam dalam domain politik. Beda situasinya dengan Orde Lama dan Orde Baru, masyarakat begitu keukeh-nya (baca: kokoh) memegang idiologi yang telah diyakininya. Pindah dan atau bergabung dengan idiologi lain, secara ekstrim dianggap sebagai orang yang murtad, alias lemah dalam prinsip. Idiologi bukan lagi dianggap agama politik. Bukankah turunan dari suatu idiologi itu adalah “prinsip”.
Orang yang lemah dalam memegang teguh idiologinya berarti lemah dalam berprinsip. Apakah ini disebabkan nuansa kehidupan materialis makin menggejala dalam masyarakat. Budaya populer lebih menonjol dalam masyarakat, mereka khawatir tidak kebagian kue kekuasaan, sehingga prinsip “ora edan ora keduman” dianggap suatu yang. Benar-benar masyarakat kita sudah semakin “sableng” demi kepentingan. Orang-orang idealis semakin sulit ditemukan, karena ini dianggap aneh dan sebagai budaya yang tidak populer. Bagaimana tidak, partai dalam berkoalisi tidak lagi memperhatikan rambu-rambu koalisi. Seharusnya dalam berkoalisi aspek idiologi yang dikedepankan, baru kesamaan visi, misi, program dan jargon. Kadang lebih membingungkan lagi visi, misi dan program yang boleh dikatakan hampir tidak ada kesamaan-pun ikut berkoalisi. Anehnya lagi setelah berkoalisipun dalam waktu tidak seumur jagung dapat berpindah atau menyeberang ke koalisi lainnya. Sebagai contoh, ketika pertama Jokowi terpilih jadi Presiden, masih ada Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Namun perlahan tapi pasti KMP nyaris tidak terdengar seperti iklan sebuah iklan mobil Panther, yang sekarang benar-benar menghilang dari peredaran. Fenomena koalisi gemuk juga makin menggejala, apalagi orang pindah partai yang berbeda seolah suatu hal yang biasa, walaupun berbeda. Hal yang sangat mencengangkan ada pula seorang putera Jambi yang bernaung dalam partai berbeda dalam periode yang tidak sama.
Hebatnya yang bersangkutan benar-benar “mahir” dalam memilih partai yang lagi menggejala (nge-trend) pada periodenya, sehingga ia selalu dapat jabatan politik yang strategis. Kasus lain, dalam satu keluarga ditemukan beda-beda partai suatu hal yang biasa dan tidak pernah dipersoalkan. Padahal ketika Orde Lama dan Orde Baru hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Masak dalam satu rumah beda agama!
Dampak dari matinya idiologi dalam politik dikhawatirkan koalisi gemuk akan terus menggejala, sehingga partai penguasa tidak ada mengontrol lagi. Paling hanya sebagian kecil “watch dog” saja yang berani mengontrol. Dampak lain dari koalisi gemuk, lawan politik yang perlu dukungan partai lain, terpaksa harus ambil dukungan dari Partai yang berbeda idiologi, seperti kasus hangat baru-baru ini di kota Jambi. Hebatnya lagi karena DPP kurang setuju dengan pengusulan DPW di Jambi, ketua DPP malah hadir memberi dukungan pribadinya kepada koalisi gemuk. Aneh bukan? Jika sudah begini kenyataannya pembangunan politik mengalami kemunduran (decrase), walaupun keran demokrasi sudah dibuka seluas-luasnya oleh mantan Presiden Bj. Habibie. Jika ini terus berlanjut, dikhawatirkan masyarakat Indonesia akan kehilangan karakternya, karena lebih banyak yang membebek.
Bukankah “encorage” merupakan salah satu kriteria orang yang berkarakter dalam mengemukakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Kekhawatiran lainnya, bagi pemilih katagori skeptis akan melakukan gerakan tidak memilih (golput), karena mereka khawatir kompromi politik tanpa didasari idiologi akan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip peningkatan dan pemerataan kesejahteraan, yang makin menguat adalah pemerataan distribusi dan alokasi kepada partai koalisi, maka mata rantai korupsi-pun akan sulit diputuskan.
Pentingnya Idiologi
Idiologi melingkupi semua sistem nilai, keyakinan, simbol, mitos, ritual, dan jargon yang terdapat dalam suatu struktur sosial masyarakat. Dalam dunia politik, hubungan antara idiologi dan politik adalah hubungan yang tak terpisahkan (inseparabele) (Seliger, 1976).
Disini diartikan bahwa partai politik menyiratkan suatu cara berpikir yang mewarnai dan memengaruhi cara sikap dan berperilaku yang diperlihat orang-orang dalam suatu kelompok sosial.
Firmansyah (2008) : mengusulkan agar idiologi digunakan untuk persaingan politik. Dengan demikian masing-masing partai poltik akan mengusung idiologi yang berbeda satu dengan lain. Dalam hal ini ideiologi dapat berupa metode dan tujuan akhir ingin diperjuangkan oleh partai politik. Idiologi sosialis memiliki tujuan yang berbeda dengan idiologi kapitalis. Tujuan yang ingin dicapai oleh idiologi sosialis adalah masyarakat dengan kesejahteraan merata. Sebaliknya idiologi kapitalis ingin menciptakan kemakmuran dan kekayaan yang sebesar-besarnya. Idiologi agama, lebih mengedepankan pencapaian masyarakat madani, dengan memperkenalkan konsep-konsep ekonomi syariah. Selain itu, cara pencapaian yang dipakai ketiganya secara significant sangat berbeda. Idiologi sosialis lebih menekan aspek pemerataan dan intervensi Negara. Sementara idiologi kapitalis lebih menekankan kebebasan dan non intervensi negara terhadap aktivitas ekonomi. Sementara idiologi Islam, lebih mengedepankan cara-cara penyelenggaraan ekonomi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Gidengil et al (1999) berargumen bahwa dalam banyak hal, struktur idiologi pemilih sangat menentukan partai apa dan kontesten sepertia apa yang menurut mereka akan menyuarakan suara mereka. Dalam studinya, Nevitte et all, (2000) menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menjamin keberlangsungan sistem multipartai adalah terdapatnya beragam dan bewarna-warni sistem nilai serta keyakinan pada kelompok-kelompok pemilih. Fenomena kedekatan idiologi antara pemilih dengan partai politik atau seorang kontestan individual juga bisa dijelaskan dengan menggunakan model ‘spatial’. Downs (1957). Dalam model ini, para pemilih diasumsikan sebagai ‘risk overse’ dan mereka memiliki sistem nilai serta keyakinan yang sudah tertanam. Mereka memiliki kecenderungan untuk memilih partai atau kontestan yang memiliki kesamaan dengan idiologi mereka, daripada partai politik atau kontestan yang memiliki idiologi berbeda. Beberapa cara dapat digunakan partai politik dalam hal ini, diantaranya : Pertama, partai politik berusaha menarik masyarakat yang memiliki kesamaan idiologi dengan mereka. Kedua, partai politik berusaha memperkenalkan dan meyakinkan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak memiliki kesamaan idiologi dengan mereka. Studi yang dilakukan terhadap sistem kompetisi partai polititik di Kanada dalam pemilihan nasional 1997 dan 2000, Scotto et al, (2004) menyimpulkan sangat pentingnya peranan idiologi dalam memengaruhi pemilih. Semasa kampanye pemilu, partai politik biasanya mengoptimalkan kedekatan idiologi dengan partisannya (Rochchneider, 2002). Hal ini memiliki dua efek komunikasi atas identitas idiologi partai : (1) memperkuat identitas massa melalui ritual politik simbolik seperti rapat akbar, dan (2) memperluas identitas idiologi partai ke massa mengambang dan partisan lain, melalui efek komunikasi rapat akbar dan liputan media. Hal ini akan mempermudah pemilih untuk mengidentifikasi idiologi suatu partai sekaligus mengundang perhatian partisan partai lain. Idiologi politik perlu dilihat lebih serius lagi dan termanifestasikan pada hal-hal yang bersifat riil. Persoalan yang dihadapi masyarakat perlu dicarikan jalan pemecahannya. Lantas apa yang membedakan suatu solusi dengan solusi lain? Partai politik perlu menggunakan idiologi politik masing-masing untuk mengajukan isu dan program politik. Dengan kata lain, idiologi politik harus menjiwai cara partai politik dalam memikirkan semua permasalahan bangsa dan negara.
Perlu dicatat, bahwa di Indonesia terdapat banyak partai politik yang sesungguhnya memiliki idiologi sama, misalnya kelompok nasionalis seperti yang diwakili partai-partai besar PDIP, Partai Demokrat , Partai Nasdem, Gerindra dan Golkar. Sedang partai yang bernafaskan Islam terutama diwakili oleh Partai Keadilan Sejahteradan PPP. Partai-partai Islam lain seperti PKB dan PAN sesungguhnya terletak diantara kedua idiologi itu. Kedua partai terakhir ini mengklaim sebagai partai nasionalis, tapi basis mereka adalah ormas Islam terbesar di Indonesia yakni PKB berbasis NU dan PAN berbasis Muhammadiyah. Gejala di Indonesia ini mungkin menarik disimak. Dari banyaknya jumlah partai dengan idiologi yang sesungguhnya tidak jauh berbeda, lalu apakah yang mendorong berdirinya begitu banyak partai? Tentu saja harus diakui pada zaman now mendirikan partai tidak semata dilandaskan idiologi tertentu. Sebagai contoh besarnya adalah AS. Di negara Paman Sam ini hanya ada dua partai. Keduanya secara tegas mendefenisikan idiologi partai yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga memudahkan bagi masyarakat menentukan partai politik yang didukung.
2. Pembangunan Politik “Pembangunan” didefinisikan sebagai “suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (national building) (Siagian : 2005, p. 3).
Penulis berpendapat bahwa dalam suatu negara berkembang ada tiga tahap penting yang perlu dilalui dalam pertumbuhan dan perkembangan politik dalam rangka pembangunan nasional.
Pertama : Menciptakan stabilitas politik, namun tdak boleh dijadikan sebagai tujuan pembangunan di bidang politik. Dalam pada itu stabilitas politik pada fase pertama mutlak diperlukan sebagai landasan yang kuat untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Stabilitas politik tidak boleh dijadikan tujuan oleh karena apabila mereka yang terlibat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan politik itu berorientasi semata kepada stabilitas politik itu sehingga stabilitas itu dijadikan tujuan, maka dapat dikatakan bahwa mereka itu berorientasi kepada status quo politik. Meskipun demikian kiranya tidak salah apabila ditekankan sekali lagi bahwa stabilitas politik itu memang merupakan prasyarat mutlak (conditio sine quanon) sebagai tahap awal dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan di bi dang politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: