>

Menilik Bisnis Perbankan Pascakonsolidasi, Bergantung Utilitas Kredit Nasabah

Menilik Bisnis Perbankan Pascakonsolidasi, Bergantung Utilitas Kredit Nasabah

Konsolidasi perbankan untuk menekan pinjaman bermasalah membuat pertumbuhan kredit 2017 tidak terlalu menggembirakan. Sulit tumbuh hingga double-digit. Bagaimana dengan tahun depan?

Pada awal 2017, baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sama-sama yakin bahwa pertumbuhan kredit bisa tembus double-digit secara year-on-year (yoy). Paling sedikit 9 persen. Namun, hingga Oktober 2017 pertumbuhan kredit masih 8,16 persen. Hal itu berbanding terbalik dengan dana pihak ketiga (DPK) yang pada Oktober lalu tumbuh 11 persen. BI pun kemudian mengubah proyeksinya dengan menargetkan pertumbuhan kredit 8 persen dan DPK 9 persen. Sementara itu, pada 2018 kredit diperkirakan tumbuh 10–12 persen dan DPK 9–11 persen.

Rasio likuiditas perbankan yang cukup baik membuat DPK diproyeksikan tumbuh tidak terlalu tinggi tahun depan. Pada Oktober lalu rasio likuiditas perbankan sangat aman di level 22,7 persen dengan loan to deposit ratio (LDR) 88 persen. ’’Ya, saat ini perbankan lebih melihat bagaimana supaya penyaluran kredit itu tepat dan tetap berkualitas. Kami tetap menjaga pertumbuhan. Tapi, kalau memang permintaannya tidak banyak, ya buat apa,’’ ujar Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. Dia pun memprediksi tahun depan pertumbuhan kredit sekitar 9–10 persen, tidak beda jauh dengan capaian tahun ini.

Di awal tahun, perbankan terkendala masalah kualitas kredit yang memburuk. Konsolidasi dan peningkatan kolektabilitas pun dilakukan. Namun, pada Oktober rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) rata-rata membaik di angka 2,96 persen (gross) dan 1,25 persen (net). Menurut Jahja, kondisi perekonomian 2017 mulai menunjukkan perbaikan. ’’Perbankan berproses memperbaiki NPL, nasabah juga sedikit demi sedikit mulai ada pesanan sehingga kemampuan membayar kreditnya membaik,’’ lanjut Jahja.

Penarikan kredit yang lambat juga menjadi pertimbangan bagi perbankan. Hingga kuartal III 2017, kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) tercatat Rp 1.400 triliun, naik 9,63 persen (yoy). Dalam memproyeksikan pertumbuhan kredit 2018, bank harus melihat kemungkinan utilitas kredit dari sisi nasabah. Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Herry Sidharta mengatakan, ada beberapa sektor yang permintaan kreditnya tinggi, tetapi ketika sudah komitmen pencairannya agak lambat. ’’Infrastruktur seperti tol dan pelabuhan agak lambat penarikannya,’’ paparnya.

Meski penarikannya lambat, sektor infrastruktur diprediksi masih tetap diminati perbankan tahun depan. Pembangunan infrastruktur yang terus dijalankan membutuhkan pendanaan dalam jangka panjang. Meski kredit dari perbankan lebih bersifat jangka pendek dan menengah jika dibandingkan pendanaan dari pasar modal, likuiditas perbankan yang longgar mengharuskan bank untuk tetap menyalurkan kredit. ’’Yang penting kami lihat permintaannya ada, sektor itu feasible dan kemampuan membayar dari nasabah tetap bagus,’’ lanjutnya.

Selain itu, sektor lain seperti pertambangan menarik seiring meningkatnya harga komoditas dan ekspor komoditas. Sektor pertanian, perkebunan, telekomunikasi, dan informasi juga diyakini membutuhkan kredit yang lebih banyak karena pertumbuhan sektor-sektor tersebut cukup tinggi di atas 5 persen.

Bagaimana dengan kredit konsumsi? Kredit pemilikan rumah (KPR) dan multiguna masih akan mendominasi penyaluran. Kartu kredit juga bisa meningkat asalkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,1 persen bisa terwujud. ’’Bunga kartu kredit kan sudah turun. Walaupun jumlah kartunya dibatasi, ketika daya beli masyarakat membaik, akan lebih banyak orang yang bisa menggunakan kartu kredit,’’ ucap Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja.

Ruang Penurunan Bunga Makin Sempit

Suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate (BI-7DRRR) telah turun dua kali sepanjang 2017 menjadi 4,25 persen. Itu adalah suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah. Namun, tetap saja pertumbuhan kredit pada 2017 masih single-digit. Transmisi penurunan suku bunga tak lantas mampu mengerek pertumbuhan kredit.

Untuk tahun depan, BI telah memberikan pernyataan mengenai ruang penurunan suku bunga yang terbatas. ’’Tahun depan masih ada risiko nilai tukar dan juga normalisasi kebijakan, baik dari reformasi pajak di AS maupun tekanan geopolitik. Jika risiko masih besar, kemungkinan suku bunga akan bertahan,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo.

Di sisi lain, pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan seperti penerbitan saham, obligasi, dan medium term notes (MTN) tumbuh tinggi hingga mencapai 45,5 persen (yoy) pada Oktober 2017. Pemenuhan kebutuhan korporasi melalui pasar modal masih dipengaruhi rating investment grade yang diberikan Standard & Poor’s (S&P). Penerbitan obligasi korporasi lebih beragam dengan yield yang lebih atraktif ketimbang surat berharga negara (SBN). Beberapa perusahaan juga mulai menerbitkan global bond.

’’Untuk bayar yield obligasi dirasa masih lebih ringan dibanding bayar bunga kredit bank. Di samping itu, yang mau menyerap obligasi kita itu banyak,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira.

Kredit produktif perbankan pun banyak diserap UKM. Sementara itu, korporasi lebih memilih penerbitan obligasi. BI pun berencana menilai rasio financing to funding ratio (FFR) pada kuartal I 2018. Yakni, intermediasi perbankan tak hanya dinilai dari penyaluran kredit, tetapi juga serapan bank atas obligasi korporasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: