>

Kuatkan Indikasi Teroris, Penyerangan Simbol Agama Merajalela

Kuatkan Indikasi Teroris, Penyerangan Simbol Agama Merajalela

Kecepatan kinerja Polri akan sangat membantu dalam mengindari prasangka yang bisa berdampak pada peristiwa perpecahan. “Karena berulang-ulang terjadi. Jadi warning agar kita tidak mudah diprovokasi,” imbuhnya. Umat Katholik sendiri, lanjutnya, percaya kepolisian bisa mengusut kasus tersebut.

Pernyataan senada juga disampaikan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa\'adi. Tindakan itu, kata dia, sama sekali tidak mencerminkan ajaran nilai-nilai agama. “Apa pun motifnya, tindakan tersebut patut dikutuk dan tidak bisa ditoleransi,” ujarnya.

Pihaknya meminta aparat kepolisian untuk menindaklanjuti dan mengusut kasus itu secara tuntas. Tak lupa, kepolisian juga harus segera memberikan penjelasan kepada public terkait duduk persoalannya. Hal itu penting, guna menghindari sikap saling curiga antar kelompok masyarakat yang dapat mengganggu kerukunan antar umat beragama.

Zainut menambahkan, MUI juga meminta masyarakat untuk ikut serta menjaga kondusifitas. Caranya dengan tidak menyebarkan opini, berita hoax, dan menciptakan isu yang justru memperkeruh suasana dan mengganggu ketertiban nasional.

“MUI menyampaikan simpati yang mendalam atas beberapa korban dari serangan tersebut, semoga diberikan kesabaran dan kesembuhan,” imbuhnya.

Pulang dari Sulawesi, Suliono Berubah

Suliono sebenarnya berasal dari keluarga sederhana yang toleran. Di Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, tempat lahir Suliono, ada masjid, pura, dan gereja yang lokasinya berdekatan. Lingkungan di sana sangat menghormati perbedaan.

Orang tua Suliono, Mistaji, 57, dan Edi Susiyah, 53, menceritakan bahwa anaknya mulai berubah setelah merantau ke Sulawesi mengikuti kakaknya. Dia adalah anak ketiga di antara empat bersaudara. Kakak pertamanya, Totok Atmojo, 30, kini tinggal di Papua. Kakak keduanya, Moh. Sarkoni, 29, merantau ke Sulawesi. Sedangkan adiknya sedang nyantri di salah satu pesantren di Kecamatan Genteng, Banyuwangi.

Didampingi Forpimka Pesanggaran yang kemarin datang ke rumahnya yang sederhana, Mistaji menceritakan bahwa Suliono sebenarnya adalah anak pendiam. Tidak pernah neko-neko. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMPN 1 Pesanggaran, Suliono sempat nyantri di Pondok Pesantren Ibnu Sina. Pesantren itu binaan Ketua PC NU Banyuwangi KH Masykur Ali. ”Di Pak Masykur hanya enam bulan,” ujar Mistaji.

Setelah dari Pesantren Ibnu Sina, Suliono pindah ke rumah kakaknya, Sarkoni, di Sulawesi. Tepatnya di Desa Lantula Jaya, Kecamatan Witaponda, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Namun, di lingkungan Sarkoni yang merupakan basis NU, Suliono tidak kerasan. Dia merasa tidak cocok dengan tradisi NU yang dijalankan warga di sekitar rumah Sarkoni. ”Dia (Suliono, Red) lalu pindah ke Palu. Pengaruhnya ya di Sulawesi itu,” kata Mistaji.

Saat pulang, Suliono membikin kaget keluarganya di Banyuwangi. Pakaiannya selalu model jubah. Dia secara terbuka juga menentang kebiasaan puji-pujian menjelang salat lima waktu di musala dan masjid kampung. ”Pujian dianggap teriak-teriak dan mengganggu orang tidur,” ujar Mistaji menirukan ucapan anaknya.

Mistaji menegaskan, perubahan pada anaknya itu hanya terjadi dalam cara ibadah. Suliono tidak pernah membahas masalah lain seperti bendera atau kenegaraan. ”Saya sudah berusaha menyadarkan, tapi tidak bisa,” ungkapnya.

Setelah pulang dari Palu, Suliono lalu berpamitan kepada keluarganya untuk menuntut ilmu di salah satu pesantren di Magelang, Jawa Tengah. Di pesantren tersebut lembaga pendidikan tersedia lengkap. ”Saya belum pernah datang ke pesantren itu, tapi katanya ada sekolah umum juga,” ujarnya.

Nuraini, sepupu Suliono, menyatakan sempat bertemu dengan Suliono pada Ramadan lalu. Dia pulang selama 18 hari. ”Saat itu saya disuruh pakai jilbab dengan bercadar,” ungkapnya.

Saat bertemu itu, lanjut Nuraini, Suliono juga bercerita soal rencana pernikahannya. Menurut dia, tidak semua perempuan menarik dirinya. Dia hanya akan menikahi perempuan yang sesuai dengan dirinya, misalnya memakai cadar. ”Saya tidak akan menikah. Saya akan menikah dengan yang hanya terlihat matanya,” ucap Nuraini menirukan ucapan Suliono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: