Tiga Jenderal Cari Bukti Kreator Penganiayaan Ulama
Deadline Dua Minggu Ungkap Konspirasi Atau Natural
JAKARTA - Kredibilitas Polri tengah diuji dalam menuntaskan kasus berbau konspirasi. Polri memastikan menerjunkan tiga jenderal menuntaskan fenomena penganiayaan ulama dan pengrusakan simbol agama. Ketiga jenderal tersebut di-deadline untuk bisa membongkar seterang-terangnya tabir 21 peristiwa penganiayaan dan pengrusakan tersebut.
Adakah konspirasi dalam rentetan kejadian yang mengancam ulama atau justru peristiwa ini terjadi natural, tanpa kaitan. Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto menjelaskan, tiga jenderal ini ditugaskan untuk tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan Jogjakarta. ”Ada jenderal bintang dua dan satu,” tuturnya dalam pertemuan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemarin.
Ketiganya akan meneliti 21 peristiwa penganiayaan dan pengrusakan di ketiga provinsi. Apakah peristiwa-peristiwa itu saling kait-mengkait atau tidak. ”Kita akan lihat peristiwa ini sebenarnya apa,” tegas mantan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut menanggapi pertanyaan salah seorang anggota MUI.
Pakar bidang kejiwaan atau psikolog juga harus dilibatkan untuk bisa membantu kepolisian. Nantinya, pakar inilah yang akan menjelaskan duduk perkaranya. ”Kami sudah diinstruksi bahwa yang jelaskan pakar soal penyakitnya, kalau polisi malah nanti salah lagi,” terangnya.
Menurutnya, langkah tersebut diambil karena instruksi Presiden Jokowi. Serta, karena Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang memiliki perhatian yang besar dalam peristiwa-peristiwa tersebut. ”Polri dalam hal ini benar-benar ingin menciptakan keamanan,” terang jenderal berbintang tiga tersebut.
Bahkan, tidak hanya pengusutan peristiwa penganiayaan, namun langkah pencegahan berlanjutnya penganiayaan dan pengrusakan dirancang. Yakni, setiap Polda harus merapat dan melindungi ulama. ”Datangi dan lindungi agar tidak terulang. Saya sempat melihat ada mobil polisi di sebuah masjid tadi. Saya yakin ini sedang koordinasi mengamankan ulama,” papar Kasatgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tersebut.
Pendataan terhadap orang dengan sakit kejiwaan itu juga ditempuh. Nantinya, di setiap rumah sakit jiwa akan didatangi kepolisian untuk mencari data pasien yang pulang. ”Kami akan telusuri satu per satu pasien, ini sudah pulang atau belum ke rumah. Atau, malah dipakai dan ada yang mengajari sesuatu,” ungkapnya.
Kerjasama dengan pemerintah daerah (Pemda), khususnya Satpol PP urgen dilakukan. Utamanya untuk melakukan razia terhadap orang dengan gangguan mental di daerah-daerah. ”Saya sebenarnya juga punya pengalaman semacam itu, saat menjadi Wakapolda Sulteng, mendadak banyak orang gila di sana. Ya kami amankan dan bawa ke rumah sakit. Mengapa bisa, ya alami saja,” paparnya.
Ari mencoba memberikan pemahaman bahwa dari 21 peristiwa itu sebenarnya hanya dua kejadian yang bersentuhan langsung dengan kyai atau ulama. Sisanya, tidak menyasar ulama, hanya pengrusakan dan sebagainya. ”Untuk provinsi terbanyak ini Jawa Barat dengan 13 peristiwa,” jelasnya.
Untuk kasus yang di Jogjakarta, dia menuturkan bahwa sangat memahami apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Peristiwa itu merupakan kejadian terorisme. Yang memerlukan tindakan tegas dari aparat. ”Tindakan tegas ini perlu karena sering kali ancamannya besar. Seperti di Sulteng beberapa tahun lalu, mendadak tiga polisi ditembak orang. Dua polisi meninggal dan satu luka,” ujarnya.
Sementara Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius mengatakan, berulang kali sudah mengingatkan untuk penanganan kasus teror lebih manusiawi. Namun, kondisi kadang tidak memungkinkan, seperti di Tuban; enam teroris membawa senjata. ”Kalau begitu ya harus tegas dari pada ditembak duluan,” ujarnya.
Sementara Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin menuturkan, peristiwa-peristiwa ini dalam analisa logika yang terbatas disimpulkan ada rekayasa sistematis. ”Dalam analisa ilmiah juga sama kesimpulannya,” terangnya.
Kalau peristiwa ini dibiarkan begitu saja, sangat memungkinkan untuk menimbulkan kericuhan. Karena itu, kepolisian jangan dengan mudah untuk menyimpulkan ini karena orang gila. ”Kesan yang timbul kalau tidak dinetralisir bisa menjadi kesimpulan yang hidup. Keadilan itu harus dihadirkan,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: