AS Topang Ekspor Sawit, Permintaan Tiongkok dan Uni Eropa Turun
JAKARTA – Sebagai komoditas yang menjadi penyumbang terbesar ekspor Indonesia, kelapa sawit dan segala turunannya amat berpengaruh pada neraca perdagangan. Namun, ekspor sawit kerap menemui hambatan dari negara tujuan ekspor. Untuk itu, pelaku usaha berharap pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan dagang sehingga pada 2018 kinerja sawit tetap bisa tumbuh positif.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, pada Januari 2018 ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya) membukukan kenaikan 4 persen jika dibandingkan dengan Desember 2017 atau dari 2,63 juta ton naik menjadi 2,74 juta ton. Kenaikan tersebut ditopang beberapa negara sasaran ekspor seperti Amerika Serikat, Bangladesh, dan India.
Ekspor minyak sawit ke Amerika Serikat pada Januari 2018 meningkat 68 persen bila dibandingkan dengan Desember 2017. Sekretaris Jenderal Gapki Togar Sitanggang mengatakan, pada Desember 2017 permintaan sawit Indonesia oleh AS sebanyak 115,29 ribu ton, meningkat menjadi 193.47 ribu ton pada Januari 2018. ”Tuduhan dumping biodiesel terhadap Indonesia sepertinya tidak memengaruhi permintaan minyak sawit Negeri Paman Sam ini,” ujar Togar saat pertemuan nasional Gapki di Hotel Fairmont Jakarta kemarin (14/3).
Kenaikan permintaan minyak sawit dari Indonesia juga dicatatkan Bangladesh sebesar 244 persen. Pakistan turut membukukan kenaikan 3 persen. Untuk India, lanjut dia, permintaan naik sangat tipis, yaitu hanya 1 persen atau dari 593,25 ribu ton pada Desember 2017 naik menjadi 598,35 ribu ton pada Januari 2017.
Sementara itu, Tiongkok justru mencatatkan pelemahan permintaan yang cukup signifikan, yaitu 15 persen atau dari 362,50 ribu ton di Desember 2018 melorot menjadi 307,49 ribu ton. Menurut Togar, turunnya permintaan minyak sawit oleh Tiongkok disebabkan persediaan minyak kedelai yang melimpah. ”Pembelian kedelai melimpah karena besarnya konsumsi soymeal untuk peternakan di China (Tiongkok),” ungkapnya.
Penurunan permintaan minyak sawit Indonesia juga diikuti Uni Eropa sebesar 8 persen atau dari 437,94 ribu ton pada Desember 2017 menjadi 404,22 ribu ton pada Januari 2018. Hal yang sama diikuti negara-negara Timur Tengah yang membukukan penurunan 31 persen dan Afrika 10 persen.
Di lain pihak, di pasar dalam negeri, Januari tahun ini tercatat kenaikan 14 persen atau dari 191 ribu ton pada Desember 2017 naik menjadi 218 ribu ton. Sementara itu, produksi minyak sawit Indonesia pada Januari 2017 turun 10 persen dari 3,8 juta ton pada Desember lalu menjadi 3,4 juta ton. ”Penurunan produksi ini merupakan kejadian biasa karena memang musim panen raya telah berakhir,” ujar Togar.
Pemerintah menyatakan sudah mendengar berbagai keluhan dari pengusaha terkait pasar-pasar ekspor yang terhambat. Pemerintah pun berupaya untuk melakukan pendekatan secara persuasif kepada negara-negara bersangkutan.
Misalnya, terkait isu Norwegia akan larangan impor bahan bakar nabati (biofuel) berbasis minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Hal itu diketahuinya dari duta besar RI di Oslo bahwa pemerintah Norwegia berencana melarang pengadaan publik (public procurement) untuk biofuel CPO. ”Saya mendapatkan kabar rencana pelarangan itu dari duta besar kita di sana. Saya akan segera panggil duta besar Norwegia untuk mengecek kebenarannya,” ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Enggartiasto menegaskan, Indonesia bisa membalas Uni Eropa yang menahan produk impor asal negara-negara tersebut untuk masuk ke Indonesia. ”Kita diganggu sawitnya, saya bisa ganggu mulai wine hingga susu bubuk. Duta besar Prancis sudah mau bertemu, biar saya akan bilang sedang mempertimbangkan produk susu bubuk mereka. Toh, izin impor di saya,” ujar Mendag.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mendukung upaya pelaku usaha untuk menggiatkan kemitraan dengan petani sawit. Menurut Darmin, program peremajaan kebun kelapa sawit alias replanting akan terus berjalan. ”Program replanting akan jalan awal April,” ujar Darmin.
Replanting kebun kelapa sawit milik rakyat di Riau tersebar di lima kabupaten. Di antaranya, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, Siak, dan Pelalawan. Komoditas sawit disebut-sebut masih menyimpan potensi penerimaan negara yang besar. Dalam empat tahun ke depan, nilainya diperkirakan mencapai USD 50 miliar.
(agf/c10/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: