Rupiah Terseret Defisit Neraca Dagang
JAKARTA - Rupiah masih betah bertengger di harga Rp 14 ribu per dolar AS (USD). Kemarin (25/6) kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan rupiah berada di level Rp 14.105 per USD dan di pasar spot Rp 14.159 per USD. Sejak perdagangan dibuka pasca-Lebaran pada 21 Juni, rupiah konsisten di level psikologis Rp 14 ribu.
Analis FXTM Lukman Otunuga menyatakan, rupiah telah terdepresiasi tajam terhadap USD setelah laporan resmi mengenai defisit perdagangan dirilis. ’’Defisit neraca perdagangan masih USD 1,52 miliar pada Mei karena harga minyak yang lebih tinggi,’’ ujarnya kemarin. Impor melonjak 28,12 persen secara year-on-year (yoy), sedangkan ekspor tumbuh 12,47 persen.
Meski defisit, dia menilai bahwa kondisi tersebut masih bagus. Sebab, itu menunjukkan konsumsi yang tumbuh. Apalagi, lebih dari 50 persen produk domestik bruto disumbang konsumsi rumah tangga.
Di sisi lain, risiko yang terkait dengan ketegangan perdagangan global dan minat investor terhadap AS yang lebih tinggi mungkin akan terus berdampak pada rupiah. ’’Jika spekulasi suku bunga AS yang lebih tinggi mengakibatkan pelemahan rupiah lebih lanjut, BI dapat melakukan campur tangan dalam upaya untuk melindungi mata uang lokal dari USD yang menguat,’’ paparnya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menjelaskan, level rupiah saat ini tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. BI pun terus melakukan intervensi pasar dengan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder Rp 15 triliun sejak Januari 2018.
Tujuannya, menahan pelemahan rupiah agar tidak jatuh lebih dalam. ’’Level rupiah saat ini sedikit masih overshoot (melampaui level yang seharusnya, Red). Istilahnya memang sedang mencari keseimbangan baru karena saat libur Lebaran di luar ada banyak gejolak,’’ jelasnya.
Stabilisasi dilakukan ketika pasar menunjukkan dana sedang bergerak ke luar. BI juga terus menentukan strategi kapan waktu yang tepat untuk masuk di pasar sekunder. Lelang FX swap dilakukan tiga kali seminggu, dari biasanya hanya sekali seminggu ketika pasar dalam keadaan normal.
Menurut Nanang, sentimen yang ada masih seputar kenaikan suku bunga The Fed dan perang dagang AS dengan Tiongkok. Harga minyak dan perkembangan laju ekonomi di negara-negara maju juga terus dipantau BI. Hal-hal tersebut tidak hanya menjadi perhatian BI, tapi juga bank-bank sentral di negara berkembang pada umumnya.
(rin/c22/fal)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: