>

JAKARTA - Ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) kembali panas. Perdebatan antara pemohon, hakim dan tim kuasa hukum terjadi pada perkara sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang berlangsung kemarin (18/6).

Perdebatan itu terjadi saat Kuasa Hukum Pasangan Capres-Cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto meminta MK memberikan garansi keselamatan dari ancaman yang dialami saksi yang akan dihadirkan di muka sidang.

\"Berdasarkan diskusi dengan LPSK ada satu gagasan bahwa untuk melindungi saksi maka kemudian LPSK mengusulkan kalau MK memerintahkan LPSK untuk menjalankan fungsi perlindungan dia akan menjalankan hal itu,\" ujar Bambang.

Bambang mengatakan, berdasarkan konstitusi seluruh warga negara harus mendapat perlindungan, termasuk saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menuturkan bahwa kini ada fakta terkait saksi-saksi yang enggan memberikan kesaksian karena takut ancaman. \"Maka kami membuat surat dan menyerahkan sepenuhnya ke MK apa yang mesti dilakukan oleh MK karena faktanya ada kebutuhan soal itu,\" kata Bambang.

Terkait hal itu, Hakim MK Suhartoyo mengatakan pihaknya tidak dapat mengabulkan permintaan perlindungan tersebut. Ia mengatakan, tidak ada landasan hukum bagi MK untuk memerintahkan LPSK memberikan perlindungan terhadap saksi di persidangan sengketa hasil pilpres.

\"Soal LPSK terus terang MK tidak bisa kemudian mengamini itu karena memang tidak ada landasan hukum untuk memberikan kewenangan itu kepada LPSK. UU yang jadi landasan itu memang lingkupnya terbatas pada soal-soal tindak pidana,\" ujar Suhartoyo.

Sebelum perdebatan terjadi, sebelumnya sidang MK yang dipimpin Anwar Usma itu, garis besar dari paparan yang disampaikan pun terang benerang. Bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak terjadinya dugaan pelanggaran pemilu yang dituduhkan sebagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Ketua tim kuasa hukum Jokowi-KH Ma\'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, berdasarkan perbaikan permohonan yang dilakukan kuasa hukum Prabowo-Sandi, maka Mahkamah berwenang menyatakan permohonan tersebut cacat formil. \"Cukup kiranya alasan bagi Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia untuk menyatakan permohonan cacat secara formil, sehingga beralasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima,\" ujar dia.

Alasan yang dimaksud Yusril adalah, karena dalam perkara sengketa hasil Pilpres di MK, pemohon tidak diberi kesempatan secara hukum untuk memperbaiki berkas permohonan. Hal ini tertuang dalam Pasal 33 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018. \"Artinya berkas permohonan yang telah diajukan oleh pemohon pada tanggal 24 Mei 2019 adalah bersifat final dan apa adanya,\" ujar Yusril.

Oleh sebab itu Yusril mengatakan pengajuan perbaikan permohonan yang dilakukan oleh pemohon tidak dapat dibenarkan secara hukum dan karenanya patut untuk ditolak dan dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, jika berkas perbaikan itu dibenarkan, maka hal ini akan melanggar dan merugikan hak hukum dari termohon (KPU) dan pihak terkait (Jokowi-Ma\'ruf) untuk mendapatkan kesempatan yang cukup untuk membantah dalil-dalil pemohon dalam perbaikan permohonannya, baik dalam jawaban maupun keterangan.

Selain itu perbaikan berkas tersebut dikatakan Yusril telah melampaui kebiasaan dalam hukum acara tentang makna perbaikan gugatan atau permohonan. \"Di mana dalam perbaikan, dalil-dalil pokok dalam permohonan awal tidak boleh ditambahkan. Faktanya, perbaikan yang diajukan pemohon bertambah lima kali lipat banyaknya daripada permohonan awal,\" papar Yusril.

Dalam permohonan yang diterima pada tanggal 24 Mei 2019 hanya berjumlah 37 halaman, sedangkan dalam perbaikan permohonan berjumlah 146 halaman. \"Dengan tambahan jumlah halaman, perbaikan permohonan tidak lagi menjadi sekadar perbaikan, tapi telah berubah menjadi permohonan baru, dan dapat terlihat dari situs resmi Mahkamah bahwa perbaikan permohonan tidak diregistrasi, karena Mahkamah hanya teregistrasi permohonan yang diajukan pada 24 Mei 2019,\" terangnya.

Sementara Kuasa hukum Jokowi-Ma\'ruf, I Wayan Sudirta dalam pemaparannya juga menampik seluruh dalil pasangan Prabowo-Sandi yang menyebutkan bahwa Polri bersikap tidak netral karena cenderung memihak pasangan Jokowi-Ma\'ruf. \"Bahwa terkait dengan netralitas Polri, Kapolri di setiap kesempatan menyampaikan dan memerintahkan jajarannya agar selalu bersikap netral dan tidak memihak, bahkan untuk memperkuat peneguhan sikap tersebut, Kapolri telah mengeluarkan perintah tertulis agar aparat kepolisian menjaga netralitasnya,\" ujar Sudirta.

Adapun perintah tertulis itu berupa Telegram Kapolri bernomor STR/126/III/OPS.1.1.1./2019 tanggal 18 Maret 2019 yang memerintahkan larangan, seperti larangan ikut membantu mendeklarasikan capres dan cawapres serta caleg, larangan foto bersama dengan capres dan cawapres, caleg, massa, maupun simpatisannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: