Love Story 1970
Kadang-kadang ada momen saat ke mana-mana melihat adanya berita \"sumpek.\" Semua bicara soal Covid-19 dan dampaknya. Mau lihat berita balap sepeda, tersenggol corona. Sepak bola, tersenggol corona. MotoGP? Awal musim berantakan gara-gara corona.
Untung ini zaman Netflix dan sejenisnya. Dan malam itu saya dan istri dapat tontonan escapisme. Ketika buka Netflix, ternyata muncul opsi film yang sudah begitu lama tidak saya tonton. Sebuah film keluaran 1970: Love Story.
Kebetulan, istri saya belum pernah nonton. Ya sudah, nonton saja. Sudah saya ingatkan ini film tear jerker, dijamin bakal bikin nangis. Tapi ini film romantis abis. Salah satu kisah cinta terbaik sepanjang masa.
Dan ternyata, ada alasan Netflix menampilkannya lagi tahun ini. Tahun 2020 adalah perayaan 50 tahun film Love Story, yang kali pertama beredar Hari Valentine tahun 1970. Di Amerika sendiri sempat dimunculkan lagi di bioskop untuk merayakan ulang tahun emas itu.
Istri saya bertanya-tanya, kok saya tahu betul film ini. Padahal dirilisnya tahun 1970, sebelum abah dan ibu saya bertemu! Saya jawab, karena film ini adalah tontonan wajib kelas bahasa Inggris saat kuliah. Bukunya (berjudul sama karya Erich Segal) adalah bacaan wajib saya saat ikut semester musim panas, lalu filmnya jadi tontonan wajib di kelas.
Ya, kisah cinta ini jadi pembahasan khusus berminggu-minggu di kelas. Setiap mahasiswa-i harus menulis resensinya, mendiskusikan dan mendebatnya di dalam kelas, mengulasnya dari berbagai sisi.
Bukunya tidak terlalu tebal, hanya sekitar 100 halaman. Filmnya tidak terlalu panjang, sekitar 1,5 jam. Tapi pembahasannya bisa berminggu-minggu di kelas bahasa Inggris di perguruan tinggi.
Sehebat itukah? Entahlah. Jujur, ini bukan salah satu dari lima film favorit saya. Tapi ini film memang istimewa, apalagi setelah mempelajarinya --bersama bukunya-- secara begitu mendetail. Buku dan filmnya memang sama, ditulis oleh orang yang sama. Kabarnya, Erich Segal lebih dulu menulis skenario filmnya, tapi kemudian diminta menulis dulu novelnya untuk dirilis sebelum filmnya beredar.
Secara buku, ini salah satu yang paling laris dalam sejarah. Wajar sih, mengingat hingga puluhan tahun kemudian masih jadi bahan diskusi di sekolah.
Secara film juga sukses luar biasa, meraih banyak nominasi Oscar, walau hanya menang satu, untuk musiknya. Dan musiknya, oh, musiknya. Anda mungkin sudah tahu musiknya yang mana. Begitu menyayat hati.
Saya kira, tidak ada salahnya saya menulis agak banyak tentang ceritanya. Toh saya yakin itu tidak akan mengubah perasaan saat menonton, dan tetap akan membuat penontonnya menangis. Dan mungkin, setelah lebih tahu konteks isinya, mungkin saat menontonnya akan lebih mendapatkan \"feeling\"-nya.
Lagipula, Love Story sejak awal sudah langsung menyampaikan ending-nya sendiri. Setelah itu baru memulai cerita hingga mencapai ending tersebut. \"Apa yang bisa Anda ucapkan tentang seorang perempuan 25 tahun yang meninggal?\" Begitu kalimat pertama di buku dan film Love Story.
Film ini adalah murni kisah cinta. Oliver Barrett IV alias Ollie adalah seorang pemuda dari keluarga kaya, keluarga WASP (White Anglo Saxon Protestant). Dia kuliah di Harvard. Walau memang pintar, dia tidak bisa melepaskan diri dari anggapan bahwa dia diterima di kampus bergengsi itu karena kakek buyutnya adalah donatur besar universitas. Salah satu gedung di Harvard adalah sumbangan keluarganya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: