Soal Pajak Pulsa, Simak Baik-baik Penjelasan Stafsus Menkeu
JAKARTA - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 terkait pemungutan pajak atas penjualan pulsa/kartu perdana, voucer, dan token listrik, menuai polemik. Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyatakan PMK tersebut menguntungkan publik dan negara karena memberikan kepastian hukum dan pemungutan disederhanakan. “Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yg biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara,” katanya dalam cuitan di akunnya di twitter @prastow, Sabtu (29/1).
Dalam cuitan itu, Yustinus terlebih dahulu menjelaskan sejarah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa telekomunikasi yang mengalami perkembangan pesat mulai sarana transmisinya dari kabel berubah ke voucer fisik dan kini serba elektronik. ADVERTISEMENT Yustinus menjelaskan PPN atas jasa telekomunikasi sudah terutang PPN sejak UU Nomor 8 tahun 1983 atau sejak terbit Peraturan Pemerintah 28 tahun 1988 yang spesifik mengatur PPN jasa telekomunikasi. Jika dulu pemungut PPN jasa telekomunikasi, lanjut dia, hanya dilakukan Perumtel, kini seiring kecanggihan teknologi, seluruh provider penyedia jasa telekomunikasi memungut PPN.
“Mekanismenya normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, yang disetor selisihnya,” imbuhnya. Namun, timbul permasalahan di lapangan di distributor dan pengecer terutama menengah-kecil yang sulit menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu sehingga terjadi perselisihan dengan Kantor Pajak.Kondisi itu, lanjut dia, menimbulkan ketidakpastian, kadang ketetapan pajak besar memberatkan distributor/pengecer namun petugas pajak juga tidak keliru karena ketika ada objek maka akan ditagih pajak.
Untuk memitigasi itu, maka Menteri Keuangan menerbitkan PMK 06/2021 tersebut agar memberi kepastian status pulsa sebagai barang kena pajak sehingga menjadi seragam karena kadang dipahami sebagai jasa. Kemudian, pemungutan disederhanakan hanya pada distributor besar sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer. “Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah. Pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan,” katanya. Sementara itu, lanjut dia, terkait Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 0,5 persen, besarannya hanya Rp500 dari voucer pulsa Rp100.000. “Ini dipungut tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun. Ibarat cicilan pajak, bagi yang sudah Wajib Pajak UMKM dan punya surat keterangan, tinggal tunjukkan dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan?,” katanya. (antara/jpnn)
Sumber: www.jpnn.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: