DISWAY: Kawasan Nondemokrasi
Perjuangan Suu Kyi akhirnya berhasil. Dunia Barat mendukungnyi. Pemerintahan militer menjanjikan Pemilu pertama secara demokratis pada 2015.
Sebelum Pemilu, militer sudah menyusun konstitusi: 25 persen kursi di parlemen wajib disediakan untuk “Fraksi ABRI”-nya tentara Myanmar. Tujuan idealismenya: untuk mencegah dilakukannya perubahan konstitusi.
Konstitusi memang bisa diubah. Syaratnya harus mendapat persetujuan 3/4 suara parlemen. Dengan 25 persen kursi di tangan tentara perubahan itu menjadi mustahil. Dalam kata-kata Pak Harto dulu –kalau perlu satu orang anggota DPR diculik agar tidak memenuhi persentase itu.
Isi lain konstitusi adalah: seseorang tidak bisa dipilih sebagai presiden mana kala punya suami atau anak warga negara asing.
Tujuan pasal itu jelas: agar Suu Kyi tidak bisa jadi presiden –biar pun partainyi menang. Kewarganegaraan ganda anaknyi memang sudah \'diselesaikan\' lebih dulu: pemerintahan militer sudah mencabut dua paspor Myanmar anak Suu Kyi.
Ada lagi: tiga jabatan menteri harus di tangan militer. Yakni menteri pertahanan, menteri perbatasan, dan menteri dalam negeri.
Dengan konstitusi seperti itu militer bisa menerima kemenangan partainya Suu Kyi. Apa boleh buat.
Suu Kyi pun tidak bisa menjadi presiden. Jabatan formal Suu Kyi adalah menteri luar negeri. Lalu diciptakan jabatan konselor atau penasihat negara untuk dia. Presidennya sendiri hanyalah petugas partai. Semua harus tunduk kepada menteri luar negeri –ketua umum partai.
Rakyat pun semakin bersemangat. Untuk membuat kemenangan lebih besar lagi di Pemilu kedua tahun lalu. Agar konstitusi seperti itu bisa dirombak. Berhasil. Menang 83 persen.
Rupanya militer merasa terancam. Hasil Pemilu itu ditolak. Dengan alasan Pemilunya tidak jujur. Banyak golongan minoritas tidak mendapat hak suara. Di kawasan Rohingya saja terdapat 1,5 juta pemilik suara tidak bisa mencoblos.
KPU Myanmar ngotot Pemilu sah. Tidak ada kecurangan yang akan menghasilkan perubahan perolehan suara.
Tentara merasa tidak mendapat jalan konstitusi.
Maka jalan tentara yang akhirnya ditempuh: kudeta. Jam 4 pagi.
Sejak Senin pagi kemarin kepemimpinan negara dipegang Panglima Militer: Jendral Min Aung Hlaing. Yang tahun ini harus pensiun. Umurnya 65 tahun.
Min Aung Hlaing menegaskan hanya akan memegang kekuasaan selama satu tahun. Setelah itu akan dilaksanakan Pemilu. Tapi siapa yang percaya lidah tanpa tulang seperti itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: