DISWAY: Utang Revaluasi
Pak Harto dulu juga begitu. Ketika presiden kedua Indonesia itu dikritik diam-diam: Indonesia terlalu banyak punya utang luar negeri. Pak Harto bilang kita tidak perlu khawatir. Kita punya banyak BUMN. Anak cucu tidak perlu bingung. Kalau kepepet-pepetnya BUMN itu bisa kita jual. Untuk membayar utang itu.
Bukan itu yang dikhawatirkan ahli seperti Dr Anthony Budiawan. Ekonom dari grup Kwik Kian Gie itu mempersoalkan untuk apa kekayaan negara dibesar-besarkan –maksudnya dibuat besar lewat revaluasi aset negara.
Aset negara itu, tahun 2015 lalu, ketika Pak Jokowi mulai menjadi presiden, baru Rp 5.500 triliun. Tahun lalu, tiba-tiba menjadi Rp 10.500 triliun.
Setelah ditelusuri, kenaikan kekayaan itu ternyata dari revaluasi aset. Khususnya tanah. Jumlah tanahnya tetap, tapi harga tanah itu disesuaikan menjadi harga baru.
Bagi BUMN revaluasi aset itu terjadi tahun 2015 sampai 2020. Juga pernah terjadi di zaman Dr Rizal Ramli menjadi menko Perekonomian. Tujuannya jelas: untuk meningkatkan leverage. Agar BUMN bisa mencari pinjaman lebih banyak lagi. Agunannya cukup besar.
Itulah yang dalam teori ekonominya Bu Sri Mulyani dianggap sebagai orang cerdas: untuk menjadi kaya tidak perlu orangnya yang bekerja. Biarlah aset yang bekerja.
Seperti Amerika.
Anthony, ekonom yang mendapat gelar doktor dari Amsterdam itu, mempertanyakan: utang negara kan tidak terkait dengan aset. Untuk apa direvaluasi?
Di sini kelihatannya memang ada beda pendapat. Dr Misbakhun misalnya. Anggota komisi keuangan di DPR ini mengatakan, aset negara harus terus direvaluasi. Agar cukup untuk menjadi underlying utang negara.
Utang negara perlu diberi underlying aset negara?
\"Ya, khususnya utang Sukuk dan dari lembaga syariah,\" ujar Misbakhun.
Menurut Anthony utang negara harusnya tidak perlu underlying. Negara pasti mampu bayar utang. Ada jalan gelap: cetak uang.
Masalahnya, kata Anthony, negara tidak akan pernah mampu bayar utang. Kalau kebijakan pemerintah terus seperti ini. Biar pun ada revaluasi aset. Suatu saat utang kita akan lebih besar dari aset.
Amerika, katanya, tidak peduli dengan revaluasi aset. Pun ketika utang Amerika sudah berlipat-lipat dari nilai asetnya. Revaluasi seperti itu tidak boleh. Selama pemerintahan SBY juga dilarang lakukan revaluasi aset.
\"Untuk negara, leverage utang tidak terkait dengan aset,\" ujar Anthony. \"Tetapi harus lebih memperhatikan rasio terhadap PDB,\" tambahnya. Yakni rasio utang vs PDB, penerimaan pajak vs PDB, beban bunga vs PDB, dan seterusnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: