Zack Snyder\'s Justice League dan Pelajaran Marketing
Setelah Man of Steel dan Batman v Superman, ternyata respon kritikus tidak seramah untuk Marvel. Warner Bros dan DC, yang sebelumnya sudah \"gagal\" lewat Green Lantern, tampaknya jadi galau. Mereka seolah tidak tahan dibanding-bandingkan dengan Marvel yang lebih \"cerah.\"
Mereka waswas, kelanjutan kisah Snyder, Justice League, akan jauh dari sukses besar The Avengers. Apalagi di komik, Justice League itu aslinya mungkin lebih kondang daripada The Avengers. Bagaimana pun, dulunya orang jauh lebih kenal Batman dan Superman daripada Iron Man dan Thor!
Saat proses pembuatan Justice League pada 2016, kegalauan ini semakin terlihat dengan berubah-ubahnya pucuk kepemimpinan di Warner Bros dan DC. Seolah ada pressure untuk menggeser Snyder, sebelum dia menuntaskan visi ceritanya. Ada tekanan untuk ikutan aliran Marvel, membuat film yang lebih \"cerah\" dan lebih banyak lucunya.
Kemudian, tragedi menerpa. Putri remaja Snyder meninggal dunia (tragisnya lagi, bunuh diri). Dengan alasan fokus ke keluarga, Snyder meninggalkan proyek itu.
Warner Bros pun belok tajam. Merekrut Joss Whedon, sutradara The Avengers dan Age of Ultron. Ingin mengalahkan Marvel? rekrut saja sutradara yang membuat film Marvel!
Sesuai pesanan, Whedon merombak besar-besaran Justice League yang sudah hampir kelar pembuatannya itu. Melakukan syuting ulang banyak adegan, mencoba menambah lebih banyak gurauan, membuatnya lebih \"berwarna.\" Dan tidak panjang-panjang. Hanya dua jam.
Hasilnya? Pada 2017, Justice League justru jadi film paling tidak jelas dari serial DC. Para kritikus menghujatnya, menyebutnya sebagai film yang geje, tidak balance antara gaya Snyder dan Whedon. Segala hujatan kritik itu tidak masalah kalau filmnya laku. Nah, problemnya, filmnya juga termasuk gagal di bioskop. Penggemar DC banyak yang membencinya.
Lantas, muncul #snydercut. Gerakan dari penggemar di seluruh dunia untuk memaksa Warner Bros merilis Justice League versi asli Zack Snyder. Ditambah dengan komentar pedas dari bintang-bintang film itu sendiri, yang mengatakan kalau versi aslinya lebih indah, beda dengan di bioskop.
Penggemar \"menang.\" Warner Bros, yang kembali melakukan perombakan manajemen, memutuskan untuk merilis ulang Justice League. Kebetulan hadir pula era streaming, yang menjadi dominan di tengah berlangsungnya pandemi. Tidak ada beban merilisnya di bioskop, malah bisa membantu memperkuat posisi Warner Bros di pertarungan streaming.
Zack Snyder diberi dana tambahan USD 70 juta untuk menuntaskan visinya, lantas Zack Snyders Justice League dirilis di HBO Max (milik Warner Bros) 18 Maret lalu.
Sadar ini mungkin film terakhirnya untuk DC, Zack Snyder benar-benar memasukkan semua ide cerita dan adegan yang sudah dia syut. Lalu menambahkan lagi beberapa adegan untuk menajamkan, serta memberi bumbu lebih \"pedas\" dan menggoda.
Rangkaian kisah dari Man of Steel, berlanjut ke Batman v Superman, benar-benar tersambung dengan komplet di Justice League yang baru ini. Sekaligus memberi indikasi, ke mana arah cerita yang sebenarnya ingin disampaikan Snyder.
Film empat jam itu pun beredar. Empat jam! Dan dengan tampilan layar beda. Kotak, bukan horisontal seperti layar TV. Film ini hadir dengan gaya IMAX, yang memaksa mata kita mengikuti gaya artistik yang berbeda, yang lebih vertikal.
Sebagai penggemar berat DC (bukan Marvel), saya benar-benar ingin meluangkan waktu menontonnya dalam sekali duduk (atau berbaring di tempat tidur). Begitu semua meeting selesai, tamu terakhir pulang di kantor, saya cepat-cepat pulang ke rumah untuk menontonnya. Tuntas mendekati tengah malam.
Reaksi saya? Wow! Ini film yang berbeda. Ini film yang artistik, yang indah, yang jauh lebih epik. Lebih serius, lebih \"kejam,\" tapi juga lebih dalam dan menyentuh. Simpul-simpulnya lebih jelas. Musuh utama Steppenwolf jadi jauh lebih karismatik, lebih punya tujuan. Dan musuh utama yang sebenarnya (Darkseid) juga hadir, memberi petunjuk ke mana arah pertarungan ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: