>

DISWAY: Nasib Terawan

DISWAY: Nasib Terawan

Seorang dokter harus memutuskan sendiri obat apa yang harus diberikan ke pasien. Berdasar ilmu yang mereka kuasai. Dokter tidak bisa didikte siapa pun dalam mendiagnosis dan memberikan obat.

Wartawan seharusnya juga begitu. Ia punya otonomi untuk menulis apa pun atau tidak menulis apa pun. Bukan karena disuruh atau dilarang oleh siapa pun –termasuk oleh penguasa dan pemilik amplop: tepatnya pemilik isi amplop.

Pun pengacara: semestinya membela yang ia anggap benar dan keadilan harus ditegakkan –apa pun risikonya.

Dokter, menurut pengamatan saya, adalah yang paling tinggi kadar ketaatan pada kode etiknya. Dan IDI mengontrolnya dengan ketat –lewat dewan etiknya.

Saya sering melontarkan tantangan: ayo buka-bukaan. Dalam satu forum profesi. Temanya: siapa di antara organisasi profesi yang paling rusak –yang pelanggaran kode etiknya paling parah. Itu sebagai bagian dari misi agar para pekerja profesi lebih taat pada kode etik mereka.

Terjadinya pelanggaran etika di berbagai profesi jelas: karena uang. Atau jabatan. Atau fasilitas. Dan ini bagian yang sangat memalukan dari sebuah profesi.

Tapi, ini dia: pelanggaran etika yang dilakukan Terawan tidak ada hubungannya dengan uang atau jabatan atau fasilitas. Itu murni masalah keilmuan –mengerjakan menyembuhkan di luar ilmu kedokteran.

Maka, Terawan tidak perlu malu dipecat dari IDI. Pun kalau salah –dalam Islam– ia masih harus dapat pahala.

”Salah” di situ bisa dibuktikan dengan jatuhnya korban –saya dua kali menjalani cuci otak: baik-baik saja. Saya dan banyak relawan mendapatkan VakNus –alhamdulillah, Anda sudah tahu, baik semua. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: