DISWAY BARU

Puisi yang Menari: Antara Alih Wahana dan Pembunuhan Makna

Puisi yang Menari: Antara Alih Wahana dan Pembunuhan Makna

Puisi yang Menari: Antara Alih Wahana dan Pembunuhan Makna--

Oleh : Ide Bagus Putra

APAKAH puisi perlu menari? Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, bahkan sedikit ganjil. Namun, di tengah geliat eksperimentasi seni yang semakin cair hari ini, pertanyaan itu menjadi penting. Di ruang pertunjukan, kita mulai menyaksikan fenomena “tarikalisasi puisi yakni upaya memadukan puisi dengan gerak tari. Puisi tidak lagi hanya dibacakan, tetapi juga “ditubuhkan”. Kata menemukan kaki, dan makna mencari napas dalam tubuh penari.

Gagasan tentang tarikalisasi puisi ini disajikan di teater Arena Taman Budaya Jambi melalui eksperimentasi komunitas Rasiklopedia, sebagaimana dicatat Oky Akbar dalam tulisannya “Tarikalisasi Puisi: Eksperimen yang Baru Dimulai.” Ia menempatkan tarikalisasi bukan sebagai bentuk baru, melainkan perpaduan antara dua ranah ekspresi kata dan tubuh yang saling menafsir. Dalam pandangannya, puisi tetap menjadi sumber ide, sementara tari berfungsi sebagai medium tafsir. Keduanya berdiri sejajar, saling menegaskan.

BACA JUGA:Hajar Sevilla 3-0, Atletico Madrid Sodok ke Papan Atas Klasemen Sementara

Oky menolak gagasan bahwa puisi dan tari harus “kawin”, karena penyatuan total justru berisiko meniadakan salah satu unsur. Ia lebih memilih istilah “perpaduan”, di mana puisi tidak hilang, melainkan berpindah ke ruang tafsir yang lain. Dalam tradisi Jambi sendiri, bentuk serupa sudah lama hidup: pada pembacaan mantra adat, tubuh penutur sering bergerak spontan. Gerak itu bukan sekadar estetika, tetapi juga simbolik dan sakral. Dari sinilah, tarikalisasi puisi menemukan akarnya sebagai warisan tubuh dan bunyi tradisional yang kini diolah dalam bahasa estetik kontemporer.

BACA JUGA: Konser di GBK, BLACKPINK Puji Antusiasme Penggemar Indonesia

Namun, setiap eksperimen menyimpan risiko. Jika musikalisasi puisi menekankan bunyi dan ritme, maka tarikalisasi puisi menekankan resonansi tubuh. Di sinilah bahaya mengintai: ketika gerak hanya menjadi terjemahan literal dari kata-kata. Jika setiap larik puisi diterjemahkan begitu saja menjadi gestur, hasilnya bukan tafsir melainkan “ilustrasi gerak”. Puisi kehilangan misteri, tubuh kehilangan kedalaman. Kata menjadi penjara, bukan inspirasi. Dalam konteks inilah, tarikalisasi bisa berubah dari penghormatan menjadi pembunuhan terhadap bahan bakunya sendiri yakni puisi.

Puisi memiliki daya hidup karena kelenturannya. Ia bisa menampung emosi, simbol, dan tafsir yang tak terbatas. Begitu ia dijebak dalam sistem tanda yang terlalu visual, daya hidup itu bisa lenyap. Tubuh menari, tapi kata membisu. Maka, tarikalisasi hanya bermakna sejauh ia menjaga keseimbangan: antara bunyi dan gerak, antara emosi dan refleksi.

BACA JUGA:Duel di City Ground, Manchester United Ditahan Imbang Nottingham Forest 2-2

Meski demikian, menolak alih wahana sama saja menolak perkembangan estetika. Dunia seni terus bergerak, dan puisi pun harus berani keluar dari halaman buku. Di zaman media sosial dan pertunjukan visual, puisi tak bisa hanya menjadi teks yang sunyi. Ia perlu menemukan bentuk baru agar tetap hidup dan relevan. alih wahana baik ke musik, film, maupun tari bisa menjadi jalan untuk memperluas napas puisi.

Namun, yang paling penting adalah kesadaran etik dan estetik dalam proses alih wahana itu. Tubuh tidak boleh menelan kata; kata tidak boleh memenjarakan tubuh. Hubungan keduanya harus dialogis, bukan hierarkis. Ketika tari hanya menjadi pelengkap, atau puisi hanya menjadi latar suara, keduanya gagal berjumpa di ruang interpretasi sejati.

BACA JUGA:BBM Pertamax CS Tetap, Dexlite CS Naik, Berikut Harga Baru BBM Pertamina Per 1 November 2025

Dalam Malam Apresiasi Tarikalisasi Puisi: Bait Menari, Tubuh Bicara di Taman Budaya Jambi (28/10/’25), Oky mencatat bagaimana banyak pembacaan puisi terasa datar, kehilangan dinamika dan emosi. Akibatnya, gerak tubuh menjadi mekanis tubuh menari tanpa jiwa. Hanya ilustrasi musik yang akhirnya menyelamatkan emosi pertunjukan. Dari sini, kita belajar bahwa tarikalisasi puisi bukan sekadar soal gerak atau irama, tetapi soal penghayatan terhadap bahasa, tempo, dan bunyi.

Puisi yang menari bukan sekadar bentuk, melainkan sikap artistik. Ia menolak diam, tetapi juga menolak kehilangan makna. Tarikalisasi yang benar bukan pemindahan literal dari teks ke tubuh, melainkan penciptaan dialog baru antara dua bahasa: bahasa kata dan bahasa tubuh.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: