Pulau Galang dan Rencana Rahasia Dibalik Evakuasi Gaza
Mochammad Farisi, LL.M --
Dengan demikian, selama pasien atau korban perang tersebut datang atas persetujuan resmi Pemerintah Palestina, diperlakukan sesuai standar kemanusiaan, dan dipulangkan setelah pulih, maka langkah ini tidak hanya sah menurut hukum internasional, tetapi juga mendapatkan legitimasi moral yang tinggi.
Namun, Siapa yang Menjaga Tanah, Rumah, dan Aset Mereka?
Kekhawatiran terbesar dari evakuasi ini adalah nasib properti yang ditinggalkan dan kemungkinan hilangnya hak katas properti di tanah air mereka sendiri. Pengalaman Bosnia, Suriah, dan Irak menunjukkan bahwa ketika warga dievakuasi tanpa perlindungan aset, tanah dan rumah mereka sering disita atau diduduki pihak lain. Di Palestina, risiko ini sangat nyata mengingat praktik pendudukan dan perluasan permukiman Israel yang sistematis.
Hukum internasional sebenarnya memberikan perlindungan hak properti warga sipil di wilayah konflik, antara lain melalui: 1) Pasal 46 Peraturan Den Haag 1907 yang melarang perampasan properti pribadi dalam perang, 2) Pasal 53 Konvensi Jenewa IV yang melarang penghancuran properti kecuali untuk keperluan militer mutlak, 3) Peran UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East / Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) yang memiliki mandat memastikan hak properti pengungsi Palestina tetap diakui, dan 4) Dukungan OKI dan Pemerintah Palestina sebagai penjamin hak kepemilikan tanah dan rumah.
Karena itu, evakuasi medis harus dibarengi mekanisme pengamanan legal dan administratif terhadap aset mereka. Mekanisme perlindungan hak properti harus dilakukan dengan: 1) Registrasi asset sebelum keberangkatan, UNRWA mencatat kepemilikan tanah dan rumah warga Gaza yang di evakuasi ke Galang, dan 2) Trustee Council for Gaza Properti, dibentuk bersama OKI dan Pemerintah Palestina untuk mejadi ‘penjaga resmi’ asset hingga pemiliknya Kembali
Legitimasi Politik Internasional
Bila misi ini jadi dilaksanakan, secara politik, Indonesia tidak boleh bergerak sendiri. Untuk menghindari tuduhan relokasi terselubung, langkah ini perlu mendapatkan dukungan dan supervisi tiga aktor internasional utama:
1. PBB melalui UNRWA. Agar rencana ini berada di bawah mandat PBB, bukan kebijakan unilateral. UNRWA memiliki legitimasi historis dan operasional dalam menangani pengungsi Palestina.
2. OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Sebagai representasi dunia Islam, OKI dapat menjadi pengawas yang menjamin langkah ini tidak melanggar hak rakyat Palestina dan tidak memicu kecurigaan negara-negara anggota.
3. Gerakan Non-Blok dan Dewan HAM PBB
Indonesia dapat menggunakan forum ini untuk menjelaskan bahwa Pulau Galang sebagai model humanitarian corridor, bukan resettlement scheme.
Keterlibatan OKI dan UNRWA penting karena kedua organisasi ini memiliki legitimasi politik dan moral di mata komunitas internasional. Tanpa keterlibatan mereka secara formal, narasi internasional bisa dikuasai pihak-pihak pro-relokasi yang akan membingkai langkah Indonesia sebagai bagian dari strategi mengosongkan Gaza. Itu akan menjadi blunder diplomatik yang sulit diperbaiki. Jadi solusi aman adalah menjalankan mekanisme tripartit antara Pemerintah Indonesia, OKI, dan UNRWA.
Berikut Usulan skema Evakuasi Medis dan Perlindungan Hak Properti
1. Persetujuan & Mandat Internasional
* Pemerintah Palestina memberikan persetujuan resmi tertulis.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


